SUPERMOON: Ketika Bulan Gagal Menjadi Super

Pada bulan Juni 2013 ketika tulisan ini dibuat, berbagai celoteh dan status di dunia media sosial semarak memberitakan datangnya sebuah “fenomena alam” yang disebut sebagai “supermoon”. Dengan berbagai ilustrasi yang nampak tidak realistis, banyak orang mengulang kembali euforia yang sempat muncul menjelang fenomena serupa pada 19 Maret 2011 lalu. Penulis memutuskan untuk mengupas fenomena ini lebih lanjut untuk menyikapi reaksi masyarakat awam yang bermunculan di dunia maya.

Oke, mari kita mulai dari persoalan paling mendasar. Apa yang dimaksud dengan “supermoon” ini?

'Supermoon' atau 'purnama perigee' pada 19 Maret 2011, dengan sebuah pesawat melintas. Disadur dari laman situs Daily Mail.
‘Supermoon’ atau ‘purnama perigee’ pada 19 Maret 2011, dengan sebuah pesawat melintas. Disadur dari laman situs Daily Mail.

Dalam membahas masalah yang satu ini, perlu diingat bahwa istilah supermoon sendiri tidak dipopulerkan oleh komunitas astronomi. Meminjam istilah dari Hanief Trihantoro, seorang penggiat astronomi di Indonesia, secara ilmiah mungkin lebih tepat menyebut supermoon sebagai “purnama perigee” (khusus jika terjadi saat bulan purnama, karena ada pula supermoon yang dimaksudkan untuk bulan baru/bulan mati). Maksudnya purnama perigee di sini adalah purnama yang terjadi ketika bulan berada di salah satu titik terdekatnya ketika mengitari Bumi. Istilah supermoon pertama kali dibuat dan didefinisikan oleh seorang astrolog bernama Richard Nolle pada tahun 1979. Inti dari definisinya adalah bahwa untuk disebut supermoon, Bulan harus memenuhi dua kriteria berikut ini:

  1. Bulan berada cukup dekat dengan garis Bumi dan Matahari sehingga susunan ketiganya mendekati sebuah garis lurus (artinya Bulan harus ada di posisi bulan baru ataupun bulan purnama).
  2. Bulan berada cukup dekat, sehingga Bulan mencapai jarak 10% terdekat ke Bumi dari jangkauan jarak orbit.

Definisi pertama cukup jelas, namun definisi kedua mungkin terdengar membingungkan. Karenanya akan saya berikan contoh. Di sini perlu saya sebutkan dulu bahwa orbit Bulan berbentuk elips, tidak bulat sempurna. Akibat orbit elipsnya ini, terkadang Bulan berada lebih dekat ke Bumi daripada biasanya, dan sebaliknya, lebih jauh daripada biasanya.

Misalkan saja, posisi terdekat Bulan ke Bumi, yaitu perigee, memiliki jarak sekitar 356.400 km (banyak data yang berbeda di internet dengan rentang antara 356.400 km sampai 370.400 km; Wikipedia sendiri mencantumkan nilai 362.570 km). Sementara itu posisi terjauh Bulan ke Bumi, yaitu apogee, memiliki jarak sekitar 406.700 km (serupa dengan kasus data perigee, data apogee juga bervariasi dengan rentang antara 404.000 km sampai 406.700 km; Wikipedia mencantumkan nilai 405.410 km). Angka-angka tersebut merupakan hasil pengukuran menggunakan lunar laser ranging experiment, memanfaatkan cermin retro-reflector yang ditinggalkan oleh misi Apollo 11, 14 dan 15. Jangkauan jarak orbit di sini didefinisikan sebagai selisih antara jarak perigee dan apogee, artinya sekitar 50.300 km, dan 10% dari nilai ini adalah 5.030 km.

Menurut definisi supermoon yang diberikan sebelumnya dan angka-angka yang sudah ditentukan, sebuah bulan baru/purnama baru dikatakan sebagai ‘supermoon‘ jika jaraknya lebih dekat dari 361.430 km dari Bumi. Perlu ditekankan bahwa semua nilai jarak ini adalah jarak antara pusat Bumi dan pusat Bulan.

Pada praktiknya, karena sulitnya melihat Bulan pada fase bulan baru, perhatian diarahkan kepada bulan purnama. Oleh karena itu, di sini penulis akan menggunakan istilah purnama perigee alih-alih supermoon. Pemberian nama khusus untuk sebuah ‘fenomena’ tentu akan lebih menarik perhatian, tetapi memangnya apa yang begitu spesial dari purnama perigee? Dan apakah yang mereka bilang mengenai purnama perigee itu benar?

Bulan yang lebih besar dan terang

Tentu saja, inilah yang menjadi pusat perhatian utama dari sebuah purnama perigee, yang sudah cukup diwakili oleh namanya yang “super”. Tetapi apakah Bulan benar-benar se-‘super’ itu? Mari berhitung sedikit.

Dari nilai yang diberikan sebelumnya, terlihat bahwa jarak perigee sekitar 12% lebih kecil dari jarak apogee. Artinya Bulan di perigee terlihat sekitar 14% lebih besar daripada apogee. Perbandingan yang paling dekat adalah perbandingan besar bola basket (keliling 29,5 inci) dan bola sepak (keliling 27 inci), yang dalam hal ini bola basket 9% lebih besar. Jika tidak dibandingkan secara langsung, relatif tak terlihat berbeda.

Apakah bulan berada pada posisi terdekatnya dengan Bumi?

Secara teknis iya, tetapi mengidentikkan posisi terdekat Bulan ke Bumi dengan purnama perigee tidaklah tepat. Alasannya, menurut definisi purnama perigee yang sudah dituliskan, purnama perigee ini hanya mencakup Bulan purnama (atau Bulan baru) yang berada di dekat titik terdekatnya ke Bumi. Titik terdekat itu, perigee, dilalui Bulan sekali setiap beredarnya mengelilingi Bumi, yaitu sekali tiap satu periode orbit sideris Bulan. Yang perlu diketahui adalah bahwa satu periode sideris ini berbeda sekitar 2,2 hari dengan lamanya satu bulan dalam kalender Islam (yang mengacu pada pergerakan Bulan) akibat pergerakan Bumi (beserta Bulan) mengelilingi Matahari. Karena ada perbedaan inilah, purnama perigee tidak terjadi pada setiap bulan purnama.

Apakah purnama perigee memicu terjadinya gempa di Bumi?

Beberapa pihak sempat menghubung-hubungkan kejadian gempa besar, seperti gempa besar Tohoku, Jepang, pada 11 Maret 2011 lalu, dengan terjadinya fenomena purnama perigee 8 hari setelahnya. Sejak akhir abad ke-20, gaya pasang surut Bumi-Bulan diketahui menyebabkan gempa di Bulan, dan beberapa pihak menduga bahwa gaya yang sama juga bisa memicu gempa di Bumi. Akan tetapi, hubungan antara keduanya masih belum jelas hingga saat ini. Apalagi untuk kasus gempa Tohoku, gempa terjadi ketika Bulan berada lebih dekat ke titik apogee (bukan perigee).

Jika kita perhatikan ilustrasi yang ditampilkan mengenai purnama perigee, seringkali Bulan digambarkan begitu besar, seolah-olah sedang “PDKT secara “lebih intens” dengan Bumi. Padahal, jika kita menyempatkan keluar rumah dan mengamati Bulan di tengah puncak kejayaannya, ia tetap terlihat serupa dengan Bulan purnama yang lainnya. Tidak “super”, memang sedikit lebih besar, tetapi tak terlihat berbeda. Kecuali jika kita memandanginya dengan penghayatan yang terlalu dalam dan “galau maksimal”.

Lebih lanjut, peristiwa purnama perigee ini juga sebenarnya bukanlah suatu peristiwa yang langka. Purnama perigee bisa terjadi hingga berkali-kali dalam setahun, jika mengacu pada definisi Richard Nolle di awal tulisan ini. Namun, tetap saja, yang paling populer adalah Bulan purnama yang paling dekat ke Bumi. Purnama perigee terdekat biasanya terjadi sekali tiap 14 bulan dalam kalender Islam sehingga jika kita ingin menunggu puncak purnama perigee selanjutnya, silakan tandai tanggal 10 Agustus 2014, pada pertengahan bulan Syawal 1435 H.

Sudah jelas, kan? Supermoon sebenarnya tidak super-super amat.

Purnama perigee 23 Juni 2013 difoto dari kota Sendai, Jepang, tempat tinggal penulis saat ini: (Kiri) 19:44 JST (UT+9), oleh Fuad Ikhwanda;(Kanan) 20:15 JST (UT+9), oleh Diptarama.
Purnama perigee 23 Juni 2013 difoto dari kota Sendai, Jepang, tempat tinggal penulis saat ini: (Kiri) 19:44 JST (UT+9), oleh Fuad Ikhwanda;(Kanan) 20:15 JST (UT+9), oleh Diptarama.

Bahan bacaan:

Penulis:
Gianluigi Grimaldi Maliyar, alumnus Tohoku University, Jepang.
Kontak: gian.gmaliyar(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top