Dalam kehidupan sehari-hari, perlengkapan rumah tangga berbahan dasar plastik tentu sering sekali kita jumpai. Contohnya tupperware, botol minyak goreng, wadah CD/DVD, styrofoam, hingga mainan anak-anak. Plastik sendiri dikonsumsi sekitar 100 juta ton/tahun di seluruh dunia. Namun, seiring dengan pertumbuhan konsumsi plastik, banyak pula masalah yang ditimbulkan. Salah satunya adalah permasalahan sampah yang tidak hanya membuat kelabakan negara berkembang, tetapi juga negara maju seperti Jepang.
Di Jepang, 60% lebih dari sampah rumah tangga adalah sampah plastik. Selama ini, sampah plastik berakhir di tempat pembuangan landfill akibat kurangnya ketegasan dalam mendaur ulang plastik. Khusus di Tokyo, akibat terbatasnya lahan pembuangan sampah, mulai tahun 2007 sampah organik dan plastik disatukan menjadi sampah terbakar. Namun, cara pengolahan sampah ini dikhawatirkan menghasilkan dioksin dan gas karbon dioksida dalam jumlah besar yang berdampak negatif bagi lingkungan.
Seperti kita ketahui, sebagian besar bahan baku plastik berasal dari minyak bumi (naphtha). Sekitar 8% dari minyak bumi di dunia digunakan untuk membuat plastik. Diperkirakan persentase penggunaannya akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dunia. Tentunya sulit dibayangkan, apa jadinya hidup manusia seandainya minyak bumi di dunia itu habis.
Plastik dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan sifatnya bila dipanaskan, yaitu tipe cokelat (nama ilmiahnya: thermoplastic) dan tipe biskuit (nama ilmiahnya: thermosetting). Waduh kok jadi bicara makanan? Makna dari nama tipe cokelat adalah plastik yang melunak bila dipanaskan, sama seperti coklat, kan? Sementar itu, tipe biskuit adalah plastik yang setelah mengeras akan tetap keras walaupun terus dipanaskan, mirip dengan biskuit.
Plastik yang berbahan baku minyak termasuk tipe cokelat. Oleh karena sifatnya yang melunak saat dipanaskan, plastik tipe cokelat dapat diolah kembali menjadi bahan baku awal/monomer. Selain itu, ada pengolahan sampah plastik dengan mengubahnya menjadi gas atau sebagai bahan reduktan pada industri besi. Namun, belakangan ini telah dikembangkan teknologi mengubah plastik menjadi minyak kembali sebagai alternatif memecahkan masalah sampah plastik.
Dari pemikiran sederhana bahwa plastik berasal dari minyak pasti bisa diolah kembali menjadi minyak, Akinori Ito berhasil mengembangkan teknologi ini dan bahkan menerapkannya untuk skala rumah tangga. Sampah plastik yang dapat diolah menjadi minyak sering disebut dengan 3P yang merupakan singkatan dari PP (polypropylene), PE (polyethylene), dan PS (polystyrene). Contohnya seperti berikut ini:
- PP: bungkus snack, tupperware, wadah CD/DVD, cap botol
- PE: plastik “kresek”, botol minyak goreng, dan botol shampoo
- PS: styrofoam dan wadah cup noodles
Prinsip kerja dari teknologi yang dikembangkan oleh Akinori Ito ini ternyata cukup sederhana. Pertama, sampah plastik dibersihkan dan dipotong menjadi ukuran kecil. Selanjutnya, plastik dipanaskan pada suhu $latex 450~^\circ {\rm C}$. Pada suhu ini, plastik akan meleleh dan kemudian menjadi gas. Gas yang telah terbentuk lalu dipisahkan serta didinginkan. Dari proses ini akan dihasilkan tetesan minyak. Proses ini hanya memakan waktu 1 jam dan persentase minyak yang dihasilkan mencapai 70-90%. Misalnya, dari 500 gram plastik dapat dihasilkan 350-450 gram minyak. Apabila minyak yang dihasilkan disuling lebih lanjut, kita bisa memperoleh minyak tanah, bensin, dan naphtha.
Uniknya, teknologi ini diterapkan terlebih dahulu bukan di Jepang, melainkan di kepulauan Marshall, sebuah kepulauan yang terletak diantara Guam dan Hawaii. Dahulu, di kepulauan ini sampah plastik menjadi permasalahan serius bagi pemerintah setempat karena selain kesulitan dalam mengolah sampah plastik, sering juga ditemukan tumpukan sampah di pinggir-pingir pantai yang membahayakan masyarakat sekitar.
Untuk memecahkan masalah sampah, Presiden Kepulauan Marshall mengundang Akinori Ito untuk datang ke sana. Akinori Ito memulainya dengan membuat tempat sampah khusus plastik. Kemudian, Akinori Ito mengunjungi sekolah di sana dan mengenalkan proses pengolahan sampah plastik menjadi minyak secara langsung kepada anak-anak di sana hingga masyarakat terdorong untuk memulai memilah sampah, yang merupakan hal baru bagi mereka. Sampah yang terkumpul selanjutnya diolah menjadi minyak. Sekarang, permasalahan sampah plastik di kepulauan Marshall dapat terpecahkan dengan penggunaan teknologi ini.
Nilai positif dari teknologi ini adalah adanya nilai tambah dari sampah plastik. Saat ini mungkin kita tidak berpikir panjang ketika membuang plastik yang tidak terpakai. Akan tetapi, kelak kita akan berpikir berkali-kali sebelum membuangnya. Apalagi dengan mahalnya harga minyak bumi yang pernah mencapai 140 dolar/barel. Bagi Jepang, negara yang miskin sumber daya alam, sampah plastik ini akan menjadi barang yang sangat berharga. Lebih-lebih, 60% dari sampah plastik di Jepang berbahan baku minyak.
Teknologi ini juga sangat ramah lingkungan. Jika 1 kg sampah plastik dibakar begitu saja, akan mengeluarkan sekitar 3 kg karbon dioksida, tetapi jika diolah kembali menjadi minyak, hanya mengeluarkan 0,38 kg karbon dioksida. Dengan demikian, teknologi ini dapat mengurangi emisi gas karbon dioksida sebesar 87%. Kapan Indonesia bisa meniru dan bahkan membuat sendiri teknologi pengolahan sampah plastik yang lebih baik? Semoga dalam waktu dekat ini. Selain itu, kita berharap teknologi serupa di masa mendatang diterapkan untuk segala macam barang kehidupan sehari-hari yang bisa didaur ulang. Dengan begitu, jumlah sampah akan menurun drastis dan kualitas kehidupan manusia meningkat pesat.
Bahan Bacaan:
Penulis:
Dedy Eka Priyanto, pegawai IHI Corporation, Jepang. Kontak: dedlier(at)yahoo(dot)com.