Nobel Fisika 2017 dan Observasi Gelombang Gravitasi

Penghargaan Nobel Fisika tahun 2017 telah dianugerahkan kepada tiga fisikawan dari kolaborasi LIGO (The Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory), yakni Rainer, Barish, dan Thorne. Mereka adalah pengayom sekitar seribu peneliti dari berbagai penjuru dunia dalam kolaborasi LIGO yang menjadi saksi kunci untuk memutuskan sahihnya sinyal yang diterima detektor LIGO pada 14 September 2015 sebagai bukti langsung eksistensi gelombang gravitasi. Kolaborasi para fisikawan ini berperan penting untuk mengonfirmasi keberadaan gelombang gravitasi yang diprediksikan Albert Einstein sejak 100 tahun lalu.

Pencarian gelombang gravitasi secara langsung dari sumber gelombangnya ini bukanlah hal yang mudah. Kolaborasi LIGO sudah terbentuk lama sejak tahun 1992 dan konsep dasar detektornya sudah diusulkan sejak tahun 1970. Detektor LIGO sendiri baru bisa mulai beroperasi tahun 2002 tanpa hasil signifikan sampai tahun 2015 ketika akhirnya detektor tersebut diperbaiki dan kemudian berhasil mendeteksi sinyal gelombang gravitasi. Apa sebenarnya gelombang gravitasi? Bagaimana kolaborasi LIGO dapat mendeteksi gelombang gravitasi?

Dalam teori relativitas umum yang dirumuskan Einstein, gravitasi digambarkan sebagai hasil dari melengkungnya ruang dan waktu karena adanya benda bermassa. Ketika benda-benda bermassa bergerak dipercepat, kelengkungan ruang-waktu di sekitarnya akan berubah. Perubahan kelengkungan ini merambat dari sumbernya sebagai suatu gelombang yang menghasilkan distorsi geometri ruang-waktu. Gelombang inilah yang disebut dengan gelombang gravitasi dan gelombang ini merambat dengan kecepatan cahaya.

Untuk membayangkan gelombang gravitasi, kita bisa bentangkan selembar kain berbentuk persegi yang kita ikat setiap sudutnya pada suatu pancang. Letakkan sebuah kelereng di tengahnya, kita bisa lihat kain itu tampak melengkung. Jika selanjutnya kita lemparkan sebuah kelereng yang lain sehingga menumbuk bola kelereng pertama, kita dapat melihat riak-riak pada kain yang menjalar ke sekelilingnya. Dalam skala kecil, riak-riak pada kain itu dapat dianggap permisalan gelombang gravitasi. Kain itu sendiri merepresentasikan kelengkungan ruang-waktu.

Ilustrasi aktivitas dua benda masif yang menghasilkan gelombang gravitasi. Sumber gambar: space.com
Ilustrasi aktivitas dua benda masif yang menghasilkan gelombang gravitasi. Sumber gambar: space.com

Hipotesis adanya gelombang gravitasi yang merambat dengan kecepatan cahaya itu terbilang hipotesis yang cukup berani. Sampai masa sebelum Einstein mengemukakan teori relativitas umum, orang-orang hanya mengenal gelombang elektromagnetik yang merambat dengan kecepatan cahaya. Namun, hipotesis Einstein seputar gelombang gravitasi dianggapnya perlu untuk memecahkan beberapa paradoks fenomena alam yang terasa ganjil jika dipandang dari teori gravitasi klasik ala Newton. Salah satunya adalah jawaban terhadap pertanyaan, “Apa jadinya jika Matahari secara ajaib mendadak menghilang?”

Mari kita analisis perilaku cahaya yang dipancarkan oleh Matahari. Cahaya telah dipahami sebagai gelombang elektromagnetik yang dapat merambat dengan kecepatan sekitar 300 ribu km per detik. Sementara itu, Bumi berjarak sekitar 150 juta kilometer dari Matahari. Dengan demikian, ketika Matahari menghilang, ada waktu sekitar 8 menit yang diperlukan cahaya terakhir dari matahari untuk sampai ke Bumi. Ini berarti pula bahwa masih ada 8 menit bagi Bumi sebelum menjadi gelap total terhitung dari saat hilangnya Matahari.

Sekarang perhatikan teori gravitasi Newton. Teori ini cukup baik menjelaskan bagaimana Bumi mengorbit Matahari dalam lintasan yang berbentuk elips. Gaya gravitasi menurut Newton telah mengikat dua buah massa saling memengaruhi satu sama lain pada jarak tertentu, yang dapat dituliskan secara matematis sebagai F = GM1M2/r2, dengan G adalah konstanta gravitasi, sedangkan M1, M2, dan r masing-masing adalah massa benda pertama, massa benda kedua, dan jarak di antara keduanya.

Pada teori gravitasi Newton, kita bisa lihat bahwa tidak ada variabel yang menyatakan waktu. Jika Matahari mendadak hilang, salah satu massa pada rumus gaya gravitasi akan berubah menjadi nol, yang membuat gaya tersebut langsung bernilai nol juga. Ini artinya Bumi akan berhenti mengorbit dan langsung menempuh lintasan berupa garis lurus. Padahal, tadi sudah disebutkan bahwa meskipun Matahari sudah menghilang seharusnya masih ada “serpihan” cahaya terakhir dari Matahari yang baru akan sampai 8 menit kemudian.

Einstein merasa tidak nyaman dengan teori Newton ini. Bagaimana mungkin gelombang cahaya butuh waktu sampai 8 menit untuk menyampaikan informasi “hilangnya” matahari, tetapi mengapa gravitasinya bisa langsung hilang? Paradoks inilah yang salah satunya menjadi landasan dari hipotesis Einstein di dalam teori relativitas umum, yakni informasi hilangnya Matahari dari gravitasi pun seharusnya merambat dengan kecepatan cahaya melalui keberadaan gelombang gravitasi. Untuk itu, diperlukan modifikasi terhadap teori gravitasi Newton. Modifikasi ini yang melahirkan teori relativitas umum.

Sebagai konsekuensi dari keberadaan gelombang gravitasi yang merambat dengan kecepatan cahaya, andaikata Matahari menghilang mendadak, Bumi masih tetap bisa mengorbit berbelok ke arah sumber gelombang gravitasi (Matahari yang telah hilang) sekurangnya selama 8 menit. Setelah lewat 8 menit, barulah Bumi akan menempuh lintasan lurus andaikata diasumsikan tidak ada pengaruh dari gravitasi benda lain. Gelombang gravitasi yang melewati suatu benda bermassa dengan demikian memiliki efek mendistorsikan benda tersebut sehingga dapat membuat lintasannya menyimpang.

Teori Einstein ini jadi tampak cukup masuk akal. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana cara mendeteksi gelombang gravitasi. Untuk membuktikan keberadaan gelombang gravitasi, kita tentu tidak berharap Matahari menghilang mendadak saat ini, karena itu berarti 8 menit setelahnya mungkin sudah musnahlah kehidupan umat manusia di Bumi. Sialnya, jika benar ada, gelombang gravitasi yang dihasilkan aktivitas benda-benda paling masif di luar angkasa sana terhadap Bumi pun hanya menghasilkan perubahan panjang relatif pada orde 10-21. Detektor berketelitian tinggi sangat dibutuhkan untuk mendeteksi penyimpangan pada orde tersebut. Di sinilah kolaborasi LIGO memainkan peranan penting.

Skema deteksi gelombang gravitasi pada sistem LIGO. Gambar kiri menunjukkan kondisi sistem pada suatu waktu tertentu. Setelah sekian saat ketika gelombang gravitasi telah melewati sistem, gelombang tersebut “mengganggu” posisi (misalnya) salah satu cermin sehingga ada perubahan pola interferensi, seperti ditunjukkan pada gambar kanan. Sumber gambar: Wikipedia.
Skema deteksi gelombang gravitasi pada sistem LIGO. Gambar kiri menunjukkan kondisi sistem pada suatu waktu tertentu. Setelah sekian saat ketika gelombang gravitasi telah melewati sistem, gelombang tersebut “mengganggu” posisi (misalnya) salah satu cermin sehingga ada perubahan pola interferensi, seperti ditunjukkan pada gambar kanan. Sumber gambar: Wikipedia.

Kolaborasi LIGO membangun suatu detektor gelombang gravitasi berupa interferometer raksasa dengan membagi sinar laser menjadi dua berkas sinar yang menempuh perjalanan berjarak sama sejauh beberapa kilometer. Masing-masing berkas sinar itu kemudian dipantulkan lagi dengan cermin ke arah detektor untuk membentuk pola interferensi. Jika dihasilkan perbedaan panjang gelombang pada dua bagian berkas sinar yang tampak dari pergeseran pola interferensi, itu berarti ada distorsi pada detektor yang mengindikasikan adanya gelombang gravitasi.

Perhitungan berdasarkan teori relativitas umum Einstein menunjukkan bahwa, untuk jarak dari posisi awal berkas laser ke arah cermin sejauh 4 km, gelombang gravitasi yang datang dari jarak sekitar 10 juta tahun cahaya dapat mendistorsi posisi detektor sebesar 10-18 m, kurang dari seperseribu diameter muatan sebuah proton. Nilai ini setara dengan perubahan panjang relatif sekitar satu bagian dari 10+21. Dengan kata lain, perubahan panjang relatif ini memiliki orde 10-21 seperti telah disebutkan sebelumnya. Jika sensitivitas detektor untuk nilai tersebut dapat dicapai, peristiwa alam yang memungkinkan pendeteksian gelombang gravitasi adalah tumbukan lubang hitam yang memiliki massa lebih dari 10 kali massa matahari.

Pada 14 September 2015 dua tempat detektor LIGO, yakni di Hanford (kiri atas) dan Livingston (kanan atas) mendeteksi sinyal pada orde 10-21 yang menunjukkan pola osilasi yang konsisten satu sama lain. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pola tersebut cocok dengan sinyal yang diharapkan muncul dari paduan dua buah lubang hitam (gambar kiri bawah dan kanan bawah). Gambar diambil dari situs kolaborasi LIGO.
Pada 14 September 2015 dua tempat detektor LIGO, yakni di Hanford (kiri atas) dan Livingston (kanan atas) mendeteksi sinyal pada orde 10-21 yang menunjukkan pola osilasi yang konsisten satu sama lain. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pola tersebut cocok dengan sinyal yang diharapkan muncul dari paduan dua buah lubang hitam (gambar kiri bawah dan kanan bawah). Gambar diambil dari situs kolaborasi LIGO.

Dua tempat pengamatan yang berjarak lebih dari 3500 km, yakni Hanford di Washington dan Livingston di Louisiana, menjadi tempat pertama di Bumi ini yang dapat membuktikan deteksi langsung gelombang gravitasi. Dari hasil analisis, diketahui bahwa sumber gelombang gravitasi yang terdeteksi adalah paduan dua buah lubang hitam yang bertumbukan. Lubang hitam pertama 36 kali lebih masif dibanding Matahari, sedangkan lubang hitam kedua 29 kali lebih masif dari Matahari, sehingga total massa keduanya secara bebas adalah 65 kali massa matahari.

Peristiwa tumbukan lubang hitam di luar angkasa yang terdeksi LIGO ini terjadi sekitar 1,3 miliar tahun silam, jauh sebelum kehidupan multiseluler di Bumi ini muncul. Setelah bergabung, massa paduan lubang hitam itu menjadi 62 kali massa matahari. Artinya, 3 kali massa matahari telah hilang. Massa yang berkurang ini yang berubah menjadi energi yang terpancar sebagai gelombang gravitasi dan riak-riaknya akhirnya tiba di Bumi pada 14 September 2015.

Foto udara salah satu tempat pengamatan LIGO di Hanford, Washington.
Foto udara salah satu tempat pengamatan LIGO di Hanford, Washington.

Meskipun teori relativitas umum Einstein telah sukses menjelaskan banyak fenomena alam, prediksi keberadaan gelombang gravitasi tidak pernah terjadi secara langsung sebelum terkonfirmasi oleh detektor LIGO. Oleh karenanya, wajar jika sinyal gelombang gravitasi ini disambut suka cita para ilmuwan dan bahkan ditanggapi ramai masyarakat luas penduduk Bumi. Inilah kepingan terakhir yang menasbihkan kesahihan teori relativitas umum. Tetapi juga, bukan berarti penemuan gelombang gravitasi ini menjadi akhir dari segalanya.

Penelitian gelombang gravitasi diyakini telah membuka babak baru dalam observasi astronomi. Informasi lebih jauh seputar sumber gelombang gravitasi, lokasi eksaknya, dan mekanisme fisis terperinci di balik itu semua diyakini akan dapat diperoleh seiring dengan pengembangan perangkat dan metode LIGO. Boleh jadi, pemanfaatan gelombang gravitasi dapat pula menyingkap tabir hakikat energi gelap (dark energy) dan materi gelap (dark matter) yang diyakini mengisi 95% ruang alam semesta. Mungkinkah kita dapat menjadi saksi sejarah itu? Semoga saja.

Bahan bacaan:

Penulis:

  1. Agus Suroso, dosen dan peneliti fisika teoretis di Program Studi Fisika, Institut Teknologi Bandung.
    Kontak: agussuroso(at)fi.itb.ac.id.
  2. Ahmad Ridwan T. Nugraha, peneliti fisika, alumnus ITB dan Tohoku University.
    Kontak: art.nugraha(at)gmail(dot)com.
Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top