Mengenal Sistem Panas Bumi dan Pemanfaatannya

Saat ini isu terkait energi masa depan semakin menarik untuk dibahas. Alasannya, di samping sumber daya tak terbarukan semakin menipis akibat eksploitasi yang berlebihan, juga adanya implikasi dari bahan bakar fosil yang berpengaruh besar terhadap peningkatan emisi karbon serta gas rumah kaca. Dunia pun sedang berlomba-lomba dalam mengembangkan energi terbarukan. Beberapa negara melakukan kerja sama dalam upaya pengembangan serta pengalihan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Islandia adalah salah satunya, sebagai negara yang memiliki potensi panas bumi (geothermal) yang sangat besar, Islandia memanfaatkan panas bumi untuk pembangkit listrik.

Indonesia sebetulnya merupakan negara yang memiliki potensi panas bumi terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Sebanyak 40% potensi panas bumi dunia berada di wilayah Indonesia. Umumnya sumber panas bumi yang berada di Indonesia berasosiasi dengan gunung api topografi tinggi (volkanik strato), karena secara geografis Indonesia berada pada jalur Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (Ring of Fire). Beberapa daerah di Indonesia yang dilalui oleh Cincin Api Pasifik di antaranya terbentang dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, kepulauan Maluku, hingga cekungan Samudera Pasifik. Daerah ini lebih dikenal dengan istilah Sabuk Pasifik.

Dengan demikian, sangat mungkin terdapat sumber panas bumi pada wilayah yang berada dalam jalur Cincin Api Pasifik. Pada wilayah tersebut terdapat komponen-komponen sumber panas bumi seperti sumber panas (heat source), batuan reservoir (reservoir rock), daerah resapan (inflow), serta daerah keluaran (outflow/lateral flow atau upflow). Secara sederhana, ilustrasi dari sistem panas bumi yang berasosiasi dengan lingkungan volkanik dapat dilihat pada gambar.

Skema sistem panas bumi dan komponennya.

Pada dasarnya panas bumi didefinisikan sebagai panas alami yang berasal dari dalam bumi dan terbentuk karena peluruhan radioaktif. Secara umum panas bumi merupakan sebuah proses transfer panas alami di dalam bumi, dari sumber panas menuju ke reservoir. Transfer panas tersebut terjadi secara konveksi dan konduksi (Hochstein & Browne, 2000).

Potensi panas bumi dapat dilihat dari munculnya manifestasi yang ada pada permukaan. Menurut Wohletz dan Heiken (1992), manifestasi panas bumi adalah keluarnya fluida panas bumi dari reservoir ke permukaan melalui rekahan atau zona yang permeabel. Manifestasi panas bumi dapat berupa air seperti mata air panas, mata air hangat, kolam air panas, dan kolam air hangat, atau bisa juga berupa uap seperti fumarol dan geiser, bergantung pada temperatur reservoir dan kecepatan aliran fluida dari panas bumi tersebut. Selain itu, endapan seperti sinter silika atau travertin dapat terbentuk pada sistem panas bumi.

Manifestasi panas bumi yang keluar ke permukaan dapat digunakan dalam menentukan kondisi reservoir yang ada di bawah permukaan. Terdapat dua jenis manifestasi pada permukaan panas bumi, yaitu manifestasi aktif dan manifestasi fosil. Manifestasi aktif memiliki keluaran berupa fluida, sedangkan manifestasi fosil berupa alterasi batuan.

Manifestasi pada permukaan merupakan manifestasi yang umum terlihat pada panas bumi dengan sistem dominasi uap dan air. Suhu reservoir untuk sistem dominasi air sekitar kurang dari 90 oC untuk temperatur rendah, 90-150 oC untuk temperatur menengah, dan 150-240 oC untuk temperatur tinggi. Suhu dari mata air panas sendiri tidak akan melebihi titik didih air pada level elevasi mata air tersebut. Contoh sistem dominasi air terdapat di beberapa negara seperti Indonesia, Taiwan, Jepang, Filipina, dan Selandia Baru. Manifestasi panas bumi di permukaan umumnya menjadi target eksplorasi untuk memahami kondisi reservoir.

Sistem reservoir yang didominasi oleh uap pada umumnya ditandai dengan jumlah uap (steam) yang lebih dari 85%. Sistem uap merupakan sumber panas bumi ideal, tetapi jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan sistem dominasi air. Contoh dari beberapa sistem dominasi uap yaitu: the Geysers Geothermal di California, Larderello di Italia, dan Kawah Kamojang di Indonesia. Biasanya reservoir seperti ini terjadi ketika ada aliran panas (heat flow) yang sangat tinggi dengan jumlah air tangkapan yang sangat sedikit.

Mata air panas adalah manifestasi yang paling nampak pada sistem dominasi air. Kelompok mata air biasanya merupakan keluaran langsung pada sistem panas bumi dan digunakan sebagai petunjuk lokasi pemboran pada tahapan eksplorasi. Namun, terkadang mata air tersebut merupakan hasil dari keluaran yang telah mengalir beberapa kilometer jauh dari pusat reservoir. Analisis kimia pada mata air panas akan memberikan informasi mengenai tingkat pencampuran antara air tanah dan air dari reservoir panas bumi. Jika analisis kimia air menunjukkan kandungan campuran antara air tanah dengan dengan mata air panas sangatlah kecil, dapat dinyatakan bahwa mata air panas tepat berada di atas sumber panas dan temperatur reservoir secara terus menerus dapat diperoleh melalui proses pengeboran.

Sejarah pemanfaatan panas bumi memang tidak banyak diketahui selain pemanfaatannya sebagai pembangkit listrik. Padahal panas bumi dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan tidak langsung dari panas bumi umumnya sebagai pembangkit listrik. Pemanfaatan secara langsung di antaranya sebagai pemandian air panas, penggunaan untuk industri, pertanian dan akuakultur, hingga untuk pemanasan ruangan. Eksplorasi dan eksploitasi panas bumi menjadi perhatian dari masa ke masa, baik secara konvensional hingga menggunakan teknologi yang paling mutakhir.

Perkembangan teknologi eksplorasi energi panas bumi sangatlah pesat. Sebagai contoh, di masa lalu ekstraksi panas hanya berkisar di kedalaman 1 hingga 3 km. Namun, di Islandia saat ini, kedalaman pengeboran sumur yang mampu dicapai untuk pembangkit listrik berkisar 5 km. Saat ini juga tengah dikembangkan EGS (Enhanced/Engineered Geothermal System) atau host dry rock, yang merupakan teknologi ekstraksi panas bumi yang bertujuan sebagai pembangkit listrik.

Bahan bacaan:

  • International Geothermal Association. (2004).

https://www.geothermal-energy.org/what_is_geothermal_energy.html.

  • Hochstein, M.P., and Browne, P.R.L. (2000). Surface Manifestations of Geothermal Systems with Volcanic Heat Sources. dalam: Sigurdsson, H. (ed) Encyclopedia of Volcanoes, Academic Press, hal. 834-855.
  • Wohletz, K., and Heiken, G. (1992). Volcanology and Geothermal Energy. California: University of California Press.

Penulis:

Vani Novita Alviani, Mahasiswa S-2 di Tohoku University.

Kontak: novitaalviani(at)gmail.com

 

Back To Top