Pada 11 Maret 2011, beberapa daerah di Jepang dilanda gempa besar disertai tsunami yang berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat. Ribuan orang menjadi korban dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi karena kehilangan tempat tinggal. Jepang memang dilanda bencana alam, tetapi ada hal-hal positif yang tetap dipertahankan dan membuat kagum orang-orang yang melihatnya. Berikut adalah sekelumit cerita tentang budaya antre dan berbagi yang ditunjukkan masyarakat Jepang meski dalam kondisi darurat.
Antre dan tidak egois
Sikap dan perilaku orang-orang Jepang ketika gempa besar Tohoku terjadi perlu diacungi jempol. Meskipun penulis tinggal di Tokyo yang cukup jauh dari daerah Tohoku yang terkena dampak paling besar dari gempa tersebut, efek gempa di Tokyo tetaplah sangat terasa. Terlepas dari tidak adanya kerusakan infrastruktur dan bangunan di Tokyo, gangguan jaringan komunikasi dan transportasi langsung terasa di Tokyo sesaat sesudah gempa.
Imbas pertama adalah dihentikannya seluruh jaringan kereta listrik dan kereta bawah tanah sesaat setelah gempa. Untuk wilayah Tokyo yang menjadi tempat jutaan orang sangat tergantung pada kereta, hal ini sangatlah mengganggu. Calon penumpang menumpuk di sekitar stasiun hingga memenuhi ruas-ruas jalan sekitarnya. Tidak hanya di stasiun, antrean panjang juga terlihat di sekitar tempat menunggu taksi dan bus. Sore itu dingin tetapi semua orang tetap rela mengantre dengan teratur bahkan hingga berjam-jam berikutnya. Tidak sedikit orang yang akhirnya baru bisa pulang setelah lima jam mengantre di halte bus yang penuh sesak.
Tidak sedikit orang yang semula mengantre kemudian memilih berjalan kaki untuk mencapai rumah masing-masing. Mereka berjalan kaki hingga beberapa kilometer ataupun berjam-jam lamanya tetapi tetap tampak tenang dan taat pada peraturan lalu lintas. Orang yang berduyun-duyun berjalan kaki tidak sampai melampaui batas trotoar dan tetap berhati-hati meski lampu pengatur lalu lintas tidak berfungsi. Begitu pula dengan para pengemudi mobil dan motor yang juga harus rela antre lebih lama karena beberapa ruas jalan macet. Mekipun macet, tidak ada yang saling serobot ataupun membunyikan klakson dengan tidak sabaran meski deretan kendaraan mengular begitu panjang.
Antrean panjang semacam itu juga terlihat di tempat pengungsian seperti sering ditayangkan di televisi atau dimuat di media cetak dan elektronik. Para pengungsi antre untuk mendapat ransum dan pakaian layak pakai yang tidak seberapa jumlahnya. Para pengendara kendaraan bermotor rela antre untuk memperoleh bahan bakar. Bahkan ketika bahan bakar tersebut dibatasi dan sulit diperoleh, mereka tidak membuat onar dengan menjarah pom bensin yang ada. Dalam keterpaksaan pun, ada orang yang meninggalkan catatan berisi permintaan maaf telah mengambil bensin tanpa izin dan kesiapan dihubungi jika pemilik aslinya menagih hak miliknya sesudahnya. Begitu pula ketika orang-orang harus antre di supermarket demi bahan makanan yang jumlahnya terbatas, mereka tetap sabar menerima keterbatasan tersebut dan tidak menjarah cadangan barang yang ada.
Berbagi dan berhemat
Masalah-masalah lain turut bermunculan pascagempa Tohoku, mulai dari masalah klasik di pengungsian hingga bahaya radiasi dari PLTN Fukushima yang bermasalah. Di sini, penulis lebih ingin menyoroti bagaimana masyarakat Jepang menghadapi hal tersebut. Rusaknya infrastruktur di daerah Tohoku memang menghambat pasokan ataupun distribusi barang kebutuhan masyarakat di daerah sekitarnya. Apalagi, PLTN Fukushima juga bermasalah yang berakibat pada penurunan pasokan energi untuk daerah Tohoku dan Kanto, termasuk Tokyo tentunya.
Sejak terjadi kelangkaan barang dan pasokan listrik, cukup banyak iklan layanan masyarakat ataupun leaflet yang mengajak berbagi demi para pengungsi di Tohoku. Di internet bisa ditemukan beragam gambar yang mengajak orang untuk tidak menimbun barang karena panik ketika beberapa barang jadi langka. Misalnya saja, gambar yang menunjukkan bahwa kurang lebih 12 rol tisu toilet bisa untuk 1.000 orang, 1 tabung gas kecil bisa untuk memasak makanan 10 orang, 1 liter bensin bisa untuk ambulans yang mengangkut 4 orang yang terluka. Jika orang-orang tidak menimbun barang-barang tersebut untuk kebutuhan pribadinya, semakin banyak pengungsi yang tertolong karena kebutuhan dasar tersebut bisa diperoleh dengan mudah.
Konsekuensi dari terbatasnya pasokan listrik adalah adanya jadwal pemadaman listrik bergilir di beberapa prefektur (provinsi), terutama Tokyo, Saitama, Chiba, dan Ibaraki. Toko-toko yang biasanya tutup sekitar jam 9 atau 10 malam jadi tutup jam 6 petang. Shibuya yang biasa hingar-bingar dengan lampu dan beberapa TV raksasa pun sedikit jadi suram karena semua itu dimatikan. Lampu-lampu di tempat umum tidak banyak yang dinyalakan. Kereta-kereta listrik sempat dikurangi operasionalnya demi penghematan. Tidak hanya di ranah publik, dalam aktivitas rumah tangga pun banyak keluarga yang melakukan penghematan semampunya.
Semangat untuk berhemat dan berbagi bisa terbaca dalam pesan-pesan iklan ataupun diskusi di TV. Misalnya:
“Ini berat dan entah untuk berapa lama, tapi kalau semua melakukan bersama-sama pasti kondisi ini terlalui dan jadi lebih baik.“
“Marilah saling menolong, jadilah kuat, dan percaya pada masa depan.“
“Jepang negara kuat. Percaya pada kekuatan Jepang.“
“Jika semua orang melakukan hal yang sama, akan jadi kekuatan besar.“
Masih banyak pesan lainnya semacam itu terus diulang-ulang.
Acara di beberapa TV menyajikan hal-hal yang positif mulai dari liputan tentang pengungsian hingga tanya jawab tentang radiasi. Ada acara di NHK yang menyerukan ajakan berbagi dan berhemat dengan memberikan contoh konkret yang dilakukan oleh masyarakat, seperti sukarelawan sebuah LSM yang membuat program untuk menghubungkan orang-orang yang terpisah atau mencari keluarganya di pengungsian, hingga gerakan matikan alat listrik yang tidak perlu di banyak keluarga.
Masyarakat Jepang memang sudah sangat akrab dengan gempa sehingga mental kuat mereka pun telah siap untuk menghadapi kondisi terburuk sekalipun. Terlepas dari semua itu kemampuan mereka untuk “gaman“, yang bisa diartikan sabar, sangat memengaruhi ketahanan mereka untuk tetap antre dan rela berbagi. Mereka gaman dengan menahan diri tidak mengeluh meski berada dalam kondisi tidak nyaman. Mereka gaman dengan tidak melakukan hal-hal negatif seperti perusakan atau penjarahan meski semua hal jadi terbatas dan sempat tidak teratur.
Sebuah pelajaran penting juga tersirat dalam percakapan penulis dengan orang Jepang beberapa hari pascagempa,
“Karena kami sama-sama jatuh saat ini, makanya harus bisa gaman. Kalau yang lain semua duduk lalu kita berdiri sendirian, rasanya malu dan tidak nyaman bahkan akan sangat terasa kehilangan dan kesusahan akibat bencana alam ini. Akan tetapi, jika sama-sama duduk dan saling membantu untuk bangkit, pasti terasa lebih ringan dan cepat terlalui.“
Masyarakat Indonesia tentu bisa belajar banyak dari kisah ini.
Penulis:
Isti Winayu, ibu rumah tangga, alumnus Waseda University dalam bidang Ilmu Hubungan Internasional, saat ini bertempat tinggal di Tokyo, Jepang. Kontak: loving_himawari(at)yahoo(dot)com.