Jepang terkenal sebagai negara yang miskin akan sumber energi. Hampir 100% dari energi yang mereka pakai adalah hasil impor dari berbagai negara, boleh dikata bahwa Jepang adalah net energy importer. Minyak bumi mereka impor dari Timur Tengah, batubara berasal dari Indonesia, Cina, dan Australia, gas alam diimpor dari Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan Uranium mereka peroleh dari Kanada dan Australia.
Di sektor kelistrikan, Jepang memiliki keragaman energi yang menarik. Tidak seperti di negara lain yang cenderung dominan di salah satu sumber energi, di Jepang ada tiga sumber energi utama yang diandalkan untuk menyuplai listrik mereka, yakni nuklir, batubara dan gas alam. Perbandingan di antara tiga sumber energi utama tersebut hampir berimbang: 31% nuklir, 25% batubara dan 26% gas alam, selebihnya bersumber dari minyak bumi dan pembangkit listrik tenaga air.
Dalam tulisan ini akan diceritakan sedikit tentang pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Monju dan Ohi yang terletak di Fukui prefecture (prefektur setara dengan provinsi), sebelah selatan kota Kyoto. Di prefektur ini terdapat juga kota yang bernama Obama City, nama yang sama dengan Presiden Amerika saat ini, Barrack Obama.
PLTN Monju
Monju adalah PLTN pertama di Jepang yang berjenis Fast Breeder Reactor (FBR), terletak di dekat teluk Wakasa, sebelah utara Kyoto. Konstruksi PLTN ini dibangun pertama kali pada tahun 1985, dan titik kritis pertama dari pengoperasian PLTN ini terjadi pada tahun 1994. Reaktor di Monju ini tidak menggunakan air sebagai media pendingin dapur reaktor, namun menggunakan sodium (atau natrium), sejenis logam yang mudah bereaksi dengan udara (oksigen). PLTN ini berkapasitas 280 MW dan dioperasikan oleh Japan Atomic Energy Agency (JAEA). Sepertinya PLTN ini dibangun juga sebagai salah satu fasilitas riset nuklir milik pemerintah Jepang.
Pada tahun 1995, sempat terjadi sebuah insiden serius dalam pengoperasian PLTN ini. Pipa yang membawa material pendingin reaktor patah menyebabkan sodium bocor di ruangan dapur reaktor. Cairan sodium ini kemudian bereaksi dengan udara bebas (uap air dan oksigen) menghasilkan panas yang tinggi hingga ratusan derajat. Panas tersebut menyebabkan beberapa besi struktur di ruangan tersebut menjadi meleleh. Masih beruntung kejadian ini diketahui sebelum kerusakan yang lebih parah di ruang reaktor, sehingga tidak menyebabkan terjadinya kebocoran radiasi nuklir.
Insiden tersebut menyebabkakan PLTN ini ditutup selama hampir 15 tahun untuk dilakukan pemeriksaan dan perbaikan teknis reaktor maupun prosedur pengoperasiannya. Pada bulan Mei 2010, reaktor ini kembali mulai dioperasikan. Kesan mengunjungi PLTN kesan pertama yang muncul adalah bahwa sistem keamanan di sana sangat ketat sekali, semua orang diminta untuk terlebih dahulu mendaftar jauh-jauh hari dengan menyertakan fotokopi paspor atau identitas yang lain. Begitu pula ketika pertama kali akan memasuki fasilitas PLTN, kita diwajibkan berganti mobil dengan yang telah disiapkan oleh petugas, lalu diberikan ID khusus tamu yang diperlukan untuk melalui pemeriksaan keamanan yang berlapis-lapis.
Oleh karena PLTN Monju ini baru saja dioperasikan kembali, maka kita tidak akan diizinkan untuk memasuki bangunan reaktor tersebut, namun sebagai gantinya, kita bisa mengunjungi fasilitas pelatihan bagi para operator PLTN. Di sini terdapat simulator untuk mengoperasikan PLTN yang dibuat mirip dengan ruang operator yang asli. Biasanya calon operator PLTN mendapatkan pelatihan di fasilitas ini selama bertahun-tahun sebelum mereka diberikan tugas untuk menjalankan pengoperasian PLTN yang sesungguhnya.
PLTN Ohi
Berbeda dengan Monju yang berkapasitas kecil, PLTN Ohi memiliki kapasitas pembangkitan sebesar 4.710 MW dan telah dioperasikan secara komersial oleh Kansai Electric Power Company (KEPCO). Ohi memiliki 4 unit reaktor dengan jenis Pressure Water Reactor (PWR). Unit 1 dan 2 dioperasikan pertama kali pada tahun 1979 dengan kapasitas pembangkitan masing-masing adalah 1.175 MW. Sedangkan unit 3 dan 4 memiliki kapasitas masing-masing sebesar 1.180 MW, dioperasikan pada tahun 1991 untuk unit 3 dan unit 4 pada tahun 1993. Uniknya PLTN Ohi membutuhkan air sebagai media pendingin dapur reaktor, sehingga PLTN ini menyedot sejumlah air laut.
Di PLTN Ohi terdapat fasilitas public relationship bernama El Park Ohi PR Hall. Di tempat ini, kita bisa menikmati teater PLTN. Teater ini dibangun menyerupai bentuk reaktor nuklir Ohi, di dalamnya kita bisa menyaksikan film bagaimana reaktor PWR bekerja beserta simulasinya.
Pengunjung diperkenankan pula untuk melihat ruang utama fasilitas nuklir Ohi. Seorang pemandu akan menerangkan bagaimana proses perangkaian bahan bakar uranium menjadi siap digunakan, kemudian melihat fasilitas operator PLTN, generator yang digunakan untuk membangkitkan listrik, dan yang terakhir bagaimana sampah bahan bakar nuklir disimpan melalui jendela kaca yang memiliki ketebalan 30 cm untuk menghindari radiasi.
Energy Security
Jepang sekali lagi telah membuktikan kehebatannya sebagai negara maju. Meskipun mereka miskin akan sumber daya alam, tetapi mereka kaya akan kualitas sumber daya manusianya sehingga mampu membangun teknologi sedemikian canggihnya. Meningkatnya kualitas hidup masyarakat dan majunya industri Jepang menuntut permintaan sumber energi listrik yang luar biasa tinggi. Teknologi nuklir Jepang telah menjawab tuntutan masyarakatnya, bahwa tanpa sumber daya energi yang cukup, nuklir mampu memberikan solusi dengan memberikan daya pembangkitan listrik yang tinggi, dan tentunya dengan harga produksi yang terjangkau oleh masyarakat.
Catatan tambahan dari editor (Desember 2013): Tulisan ini dibuat pada awal tahun 2011 sebelum terjadinya insiden nuklir PLTN Fukushima yang bocor pascagempa besar Tohoku Maret 2011. Akibat insiden tersebut, pemerintah Jepang terpaksa menutup seluruh PLTN di seantero Jepang sehingga saat ini Jepang berusaha menyuplai kebutuhan energinya dengan pembangkit listrik tenaga lainnya yang masih berfungsi. Meskipun PLTN di Jepang sangatlah aman (andai tidak ada kejadian luar biasa seperti gempa Maret 2011), mayoritas masyarakat Jepang terlanjur takut dengan gempa-gempa besar berikutnya yang mungkin juga membuat rusak PLTN di Jepang. Oleh karena itu, pemerintah Jepang memutuskan untuk menutup seluruh PLTN yang dimilikinya, namun mereka “mengekspor” kemampuan membuat PLTN tersebut ke negara-negara lain yang lebih aman kondisi alamnya. Salah satu contohnya adalah pemerintah Turki yang baru-baru ini menekan kontrak untuk pembangunan PLTN di sana dengan bantuan teknologi Jepang.
Penulis:
Muhammad Ery Wijaya, kandidat doktor di Graduate School of Energy Science, Kyoto University, Jepang. Kontak: erywijaya(at)gmail(dot)com.