Dari pelajaran di sekolah selama ini kita mengetahui fase atau wujud material biasanya dibagi menjadi zat padat, cair, dan gas. Transisi fase di antara bentuk-bentuk tersebut pun dapat terjadi. Misalnya, air yang berwujud cair bisa berubah menjadi es yang berwujud padat. Namun, situasinya agak sedikit rumit ketika kita membicarakan fase material pada suhu yang sangat rendah mendekati suhu nol mutlak. Pada kondisi tersebut muncul banyak jenis fase lainnya dan transisi satu sama lain.
Pada suhu yang sangat rendah, efek-efek kuantum mulai bermunculan dan menjadi dominan. Sebagai contoh, pada lapisan atom yang sangat dingin dan berbentuk dua dimensi sempurna, suatu zat bisa menjadi superkonduktor, yakni fenomena hilangnya hambatan listrik. Ada pula fase superfluida, material dengan viskositas (tingkat kekentalan) yang bernilai nol, sehingga dapat menghasilkan vorteks yang memiliki putaran yang tampak tak pernah melambat.
Tahun 2016 ini penghargaan Nobel Fisika diberikan pada tiga ilmuwan yang telah berkontribusi besar menjelaskan fenomena transisi fase dan wujud material secara menyeluruh melalui alat bantu matematika yang bernama “topologi”. Ketiga ilmuwan itu adalah D. J. Thouless, J. M. Kosterlitz, dan F. D. M. Haldane. Konsep topologi pada dasarnya terkait dengan sifat suatu objek yang tidak berubah ketika objek tersebut mengalami deformasi. Bayangkan kita punya mainan lilin malam, kita bisa membuat cangkir kopi dari sebuah donat. Sebaliknya, kita bisa membuat donat dari cangkir kopi.
Secara topologi, cangkir dan donat adalah bentuk yang sama karena memiliki satu “lubang”. Lain halnya bola sepak dengan cangkir. Bola sepak secara topologi berbeda dengan cangkir karena bola sepak tidak memiliki lubang, tetapi bola sepak secara topologi bisa dianggap bentuknya sama dengan piring yang sama-sama tidak berlubang. Perubahan cangkir menjadi donat belum berarti terjadi transisi fase. Namun, perubahan bentuk bola sepak menjadi cangkir atau donat sudah mengindikasikan adanya transisi fase.
Lalu, masalah fisika apa yang memicu Thouless, Kosterlitz, dan Haldane untuk menggunakan konsep topologi dalam menjelaskan fase material pada suhu rendah? Semua ini berawal dari keyakinan para fisikawan di masa lalu hingga tahun 1970-an bahwa segala fase material yang teratur akan lenyap pada sistem datar dua dimensi (meskipun pada suhu nol mutlak), dikarenakan riuh termal (thermal noise), yang mengindikasikan tidak adanya transisi fase pada sistem tersebut. Namun, Kosterlitz dan Thouless meragukan keyakinan tersebut.
Kosterlitz and Thouless membantah keyakinan lama dengan memprediksikan akan adanya transisi fase pada permukaan lembaran atom yang sangat tipis. Cacat topologis suatu material berperan penting dalam transisi fase ini. Thouless dan Kosterlitz, yang memiliki hubungan guru dan murid, bekerja sama menggunakan konsep topologi untuk menjelaskan bahwa fenomena superkonduktivitas dan superfluiditas dapat terjadi pada lembaran atom bersuhu rendah. Mereka juga menunjukkan perhitungan bahwa transisi fase bisa terjadi pada suhu yang agak tinggi.
Perubahan fase yang terkait dengan topologi ini sekarang dikenal dengan istilah transisi KT (Kosterlitz-Thouless). Perubahan topologi pada lembaran atom dua dimensi utamanya disebabkan konfigurasi vorteks-vorteks kecil dari spin elektron di permukaan lembaran. Pada suhu rendah, vorteks-vorteks spin berpasangan sangat erat. Namun, seiring meningkatnya suhu, vorteks-vorteks itu tiba-tiba saja berpisah antara yang satu dan lainnya. Di sinilah terjadi perubahan topologi dan transisi fase.
Dengan perkembangan eksperimen terkait superkonduktor dan superfluida, teori yang diajukan Thouless dan Kosterlitz mulai diterima para fisikawan. Lebih jauh lagi, ada beberapa fenomena lain yang tampaknya masih terkait dengan konsep topologi. Khususnya pada tahun 1980-an, para fisikawan dibuat pusing oleh efek Hall kuantum. Efek Hall klasik sudah dipahami sejak seratus tahun sebelumnya, yakni munculnya tegangan kontinu yang dapat diukur pada lembaran logam ketika medan magnet cukup kuat diberikan tegak lurus terhadap arus listrik yang mengalir pada lembaran tersebut. Sementara itu, efek Hall kuantum memiliki perubahan tegangan yang terkuantisasi dan diskret.
Efek Hall kuantum muncul pada material dua dimensi. Penemu pertamanya, Klaus von Klitzing, menggunakan lembaran konduktor yang disisipkan di antara dua lembaran semikonduktor. Dia kemudian menempatkan material tersebut pada medan magnet yang sangat kuat dan mengukur tegangan listrik yang dihasilkan pada temperatur yang nyaris nol mutlak. Tegangan Hall ditemukan selalu terkuantisasi pada nilai-nilai diskret yang sangat spesifik dan presisi. Nilai tersebut tampak tidak dipengaruhi jenis material yang digunakan dan juga konstan meskipun beberapa parameter eksperimen diubah. Perubahan dari satu besar tegangan ke yang lainnya baru terjadi jika medan magnet yang diberikan itu mengikuti kelipatan bilangan bulat.
Perbandingan antara arus konduktor dan tegangan Hall pada efek Hall kuantum yang diukur oleh von Klitzing selalu menghasilkan kelipatan bilangan bulat dari konstanta e^2/h, dengan e adalah muatan elektron dan h konstanta Planck. Nilai e^2/h ini sekarang dikenal dengan istilah konduktansi kuantum. Peneliti lainnya ketika von Klitzing menemukan efek Hall kuantum pun selalu mendapati fakta yang sama dan konsisten dengan eksperimen von Klitzing. Asal-usul efek Hall kuantum kemudian menjadi perdebatan hangat. Meski demikian, von Klitzing mendapatkan hadiah Nobel Fisika cukup cepat, tahun 1985, hanya sekitar 5 tahun sejak penemuan efek Hall kuantum.
Thouless mencoba menerapkan konsep topologi untuk menjelaskan fenomena efek Hall kuantum. Intuisinya tampaknya sangat tepat. Ia menemukan solusi bahwa kelipatan bilangan bulat dari konduktansi kuantum yang diamati dalam efek Hall kuantum itu terkait sangat erat dengan perubahan topologi. Thouless menunjukkan bahwa pemahaman terhadap fenomena kolektif elektron di atas permukaan lembaran konduktor sangatlah krusial. Material itu dapat dianggap sebagai fluida kuantum dengan karakter topologi. Oleh karenanya, konduktansi digambarkan melalui gerak kolektif elektron, dan karakter topologinya bermakna bahwa transisi fase terjadi pada langkah-langkah tertentu yang diskret.
Di tempat terpisah dengan Thouless pada waktu yang hampir sama, Haldane sedang mempelajari sifat-sifat rantai atom magnetik dan simetrinya. Dalam fisika kuantum, telah dikenal dua macam magnet atom, yakni magnet genap (spin bulat) dan ganjil (spin setengah). Haldane memprediksi dengan perhitungan matematis bahwa rantai atom magnetik tipe genap akan memiliki karakter topologi sehingga bisa disebut material topologis, sedangkan tipe ganjil bukanlah material topologis. Awalnya tidak ada yang percaya dengan Haldane, tetapi beberapa eksperimen kemudian dapat mengonfirmasi prediksi Haldane. Bahkan, bisa dikatakan bahwa Haldane telah menemukan secara spesifik contoh pertama material yang memiliki karakter topologi.
Belakangan ini, tidak hanya rantai atom magnetik serta fluida Hall kuantum, sudah ada bermacam-macam material topologi, seperti insulator topologis (topological insulator), superkonduktor topologis (topological superconductor), dan logam topologis (topological metal). Selain itu, beberapa material tiga dimensi pun telah ditemukan dapat memiliki karakter topologi pada permukaannya. Dengan beragam sifat dan fase yang unik, material-material ini sangat diharapkan akan menjadi generasi berikutnya yang mengisi beragam perangkat elektronik kita sehari-hari.
Bahan bacaan:
- http://physicsworld.com/cws/article/news/2016/oct/04/2016-nobel-prize-for-physics
- https://www.nobelprize.org/nobel_prizes/physics/laureates/2016/popular-physicsprize2016.pdf
Penulis:
Ahmad Ridwan T. Nugraha, peneliti fisika, alumnus ITB dan Tohoku University.
Kontak: art.nugraha(at)gmail(dot)com.