Secara teoretis, bumi tempat kita berdiam sebenarnya tersusun oleh banyak lempengan tektonik yang aktif bergerak. Lempengan-lempengan tektonik ini kadang-kadang mengalami pertemuan satu lama lain (Gambar 1). Pertemuan dua lempengan tektonik aktif ini bisa menyebabkan terjadinya pergeseran, baik salah satu saja maupun semua lempengan yang bertemu. Dalam bahasa geologi, gejala ini disebut sebagai sesar geser. Pertemuan ini bisa juga menyebabkan bertumbukannya lempengan-lempengan aktif tersebut sehingga posisi salah satu lempengan tektonik berada di atas atau di bawah lempengen tektonik yang lain. Dalam bahasa geologi, peristiwa pertemuan kedua ini disebut dengan istilah sesar naik atau sesar turun.
Gambar 1. Ilustrasi terjadinya sesar turun (gambar atas), sesar naik (gambar tengah), dan sesar geser (gambar bawah) [Sumber: http://images.yourdictionary.com/fault]
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat Gambar 2 yang menunjukkan beberapa lempengan tektonik aktif yang mengelilingi Indonesia, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indian, lempeng Australia, lempeng Sunda, lempeng laut Filipina, lempeng Pasifik, dan lempeng Caroline. Keberadaan lempeng tektonik Eurasia telah membentuk kondisi ekstrem secara tektonik di bagian tenggara Indonesia.
Gambar 2. Lempengan-lempengan aktif (active plates) yang mengelilingi kepulauan Indonesia [Robert McCaffrey, 2009].
Gambar 2 menjelaskan bahwa Indonesia dikelilingi oleh lempeng India-Australia yang bergerak ke arah timur laut dan lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat. Lempeng tektonik India-Australia bergerak ke arah timur laut terhadap lempeng Eurasia dengan kecepatan sekitar 50-60 mm/tahun (walaupun terlihat pelan, sebenarnya sangat cepat secara umur geologi). Pergerakan ini membentuk daerah subduksi di palung Sunda (Sunda Trench) yang memanjang di sepanjang pantai barat pulau Sumatra melewati pantai Selatan pulau Jawa hingga menuju Laut Sulawesi. Daerah ini dikenal dengan tempat terjadinya gempa-gempa dengan kekuatan besar, seperti gempa Aceh, gempa Padang, gempa Pangandaran, gempa Jogja, dan gempa Mentawai. Daerah ini juga merupakan jalur pegunungan berapi.
Di sisi lain, ada pergerakan aktif dari lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat terhadap lempeng Eurasia dengan kecepatan sekitar 100 mm/tahun, sangat cepat. Pergerakan ini membentuk beberapa daerah subduksi di Indonesia bagian timur dan merupakan tempat terjadinya gempa-gempa besar di Indonesia bagian timur. Seperti layaknya gelang karet yang ditarik dan dilepaskan secara tiba-tiba, pergerakan aktif dalam bentuk pertemuan dan tumbukan lempeng-lempeng aktif yang mengelilingi Indonesia inilah yang menyebabkan Indonesia memiliki banyak daerah yang berpotensi sebagai daerah dengan risiko besar terhadap bencana alam, seperti gempa bumi tektonik dan gempa bumi vulkanik yang terjadi karena aktivitas meletusnya gunung api. Persebaran daerah-daerah potensi bencana ini ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta daerah potensi bencana alam yang disebabkan oleh gempa bumi dan gunung api di seluruh Indonesia. Warna hijau menunjukkan daerah yang relatif aman, sementara daerah yang berwarna cokelat tua adalah daerah yang sangat berisiko bencana. [Committee of Sumatra offshore earthquake and Indian Ocean tidal wave damage survey, 2005]
Terjadinya gempa bumi memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia. Gempa bumi bisa menyebabkan terjadinya kematian, kerusakan, serta hancurnya sarana dan prasarana yang menunjang keberlangsungan kehidupan manusia. Pembangunan gedung-gedung yang rusak dan penataan kembali daerah yang terkena dampak gempa bumi memerlukan biaya ratusan juta rupiah.
Sebagai contoh, gempa bumi dengan kekuatan 9,3 skala Richter yang terjadi di lepas pantai barat Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 merupakan gempa bumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Menurut catatan sejarah gempa ini juga menghantam Sumatera Utara, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan Pantai Timur Afrika .
Untuk wilayah Indonesia, dampak negatif gempa ini menjadi lebih besar karena diperburuk oleh pembangunan sarana dan prasarana (rumah, gedung sekolah, gedung pemerintah dan bangunan bertingkat lainnya) yang tidak sesuai dengan syarat pembangunan sarana dan prasarana di daerah gempa. Di daerah-daerah dengan kemungkinan besar terjadinya gempa bumi dengan kekuatan yang besar, dengan alasan untuk terlihat modern, banyak rumah yang masih dibangun dengan menggunakan campuran pasir dan semen saja, tanpa rangka yang kuat.
Gedung-gedung bertingkat juga dibangun dengan tidak memperhitungkan bahaya bila gempa besar terjadi. Selain itu, ada permasalahan tata kota yang belum bersahabat dengan bahaya yang bisa ditimbulkan oleh gempa. Misalnya, tidak adanya daerah-daerah evakuasi bila gempa bumi terjadi akan berkontribusi pada semakin besarnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh gempa bumi dengan kekuatan besar. Padahal, pembangunan sarana dan prasarana serta penataan kota-kota di Indonesia yang memenuhi syarat bagi daerah-daerah rawan gempa akan mampu mengurangi jumlah kematian, kerusakan rumah maupun bangunan bertingkat, serta jumlah uang yang dikeluarkan untuk pembangunan dan penataan kembali setelah terjadinya gempa. Upaya ke arah lebih baik sudah mulai dilakukan, seperti pemindahan kota Padang di Sumatra Barat secara bertahap. Akan tetapi, masih banyak hal-hal lain yang masih perlu dilakukan, untuk mengurangi efek gempa.
Penulis:
Febty Febriany, mahasiswi S3 Geofisika Chiba University, Jepang.
Kontak: febty82(at)gmail(dot)com.