Pernahkah teman-teman mendengar ataupun membaca tulisan bahwa Tembok Besar Tiongkok merupakan satu-satunya objek buatan manusia yang bisa terlihat dengan mata telanjang dari bulan? Katanya karena Tembok Besar panjang sekali, seharusnya akan bisa terlihat dari bulan. Benarkah begitu? Mari kita bahas yang benar dari sisi fisika.
Satu hal penting untuk dapat melihat benda dari jauh adalah kemampuan alat optik mengenali detail dari objek, yang disebut dengan resolusi. Definisi yang barangkali lebih mudah dipahami adalah seberapa jauh (sekurangnya) dua titik yang berbeda dapat dikenali oleh alat optik ketika dilihat dari jarak tertentu. Dalam hal ini, mari kita ambil contoh mata kita sebagai alat optik.
Permasalahannya, berapakah resolusi dari mata manusia? Ada beberapa cara menghitung resolusi alat optik, salah satunya dengan menggunakan kriteria Rayleigh. Bagi yang agak lupa atau yang tidak lupa (karena tidak pernah ingat), ini adalah rumus untuk menghitung resolusi sudut dari alat optik:
θ = 1,22 λ / D
θ adalah resolusi sudut (dalam radian), λ adalah panjang gelombang cahaya, dan D adalah diameter bukaan dari alat optik, dalam kasus kita bukaan dari mata adalah pupil.
Rumusnya sudah ada, sekarang masukkan angkanya. Untuk panjang gelombang, kita bisa pakai panjang gelombang warna merah (700 nm), dengan anggapan warna bata dari Tembok Besar kira-kira merah. Kemudian, ambil informasi dari Wikipedia, diameter pupil bisa dianggap sekitar 5 mm. Tinggal pakai kalkulator (hati-hati dengan konversi satuan) kita dapatkan resolusi mata sekitar 0,0001708 radian atau sekitar 0,01 derajat.
Sekarang, kita harus menghitung berapa jarak minimum dua titik agar bisa terlihat oleh mata dari bulan. Kita tahu bahwa jarak Bumi dan bulan kira-kira 380.000 km. Lalu, dengan menggunakan geometri seperti pada gambar, kita peroleh jarak minimal dua titik agar dapat dibedakan dari bulan adalah 66 km.
Dari perhitungan ini, sebuah benda agar dapat terlihat oleh mata kita dari bulan setidaknya harus berupa lingkaran raksasa yang memiliki diameter 66 km. Dengan kata lain, dua titik berjarak 66 km yang tersebar merata di sekeliling lingkaran itu akan bisa dikenali oleh mata kita dari bulan sehingga suatu objek lingkaran yang memiliki diameter 66 km itu bisa dilihat seutuhnya.
Jika kita perhatikan dimensi Tembok Besar, panjang dari Tembok Besar memang luar biasa: 6400 km. Masalahnya, lebar Tembok Besar hanya 9 meter, terlalu tipis untuk bisa terlihat dari bulan. Seperti suatu benang yang andaikata panjangnya cukup besar tetapi lebarnya sangat kecil (tipis), tentu kita pun kesulitan atau bahkan tidak bisa mengenalinya dari jarak tertentu yang cukup jauh. Dengan demikian, kabar bahwa Tembok China bisa terlihat dari bulan dengan mata telanjang itu… BOHONG (baca: bohong besar)!
Lebih parah lagi, sebenarnya Tembok Besar pun bahkan tidak bisa dilihat oleh astronot yang mengorbit Bumi. Ambil contoh International Space Station (ISS) yang mengorbit pada ketinggian 350 km. Dengan cara yang sama kita dapatkan bahwa ukuran minimum supaya benda bisa terlihat adalah sebuah titik berdiameter 60 meter. Tetap saja dimensi Tembok Besar yang hanya memiliki lebar 9 meter tidak cukup buat terlihat oleh astronot di ISS.
Astronot pertama Tiongkok, Yang Liwei, mengaku dia tidak dapat melihat Tembok Besar dari luar angkasa. Yang lebih gampang dilihat dari jendela ISS justru Piramida Giza yang memiliki panjang dan lebar masing-masing sekitar 230 meter. Tetapi kalau dilihat dari bulan, Piramid Besar pun tidak terlihat sama sekali.
Kemungkinan besar, kebohongan Tembok Besar terlihat dari bulan ini tersebar luas di masyarakat semata-mata sebagai kepercayaan akan mitos lama bahwa Tembok Besar merupakan satu-satunya benda buatan manusia yang terlihat dari luar angkasa. Padahal seperti yang sudah kita hitung di atas, alih-alih Tembok Besar, malah Piramida Giza yang lebih mudah terlihat. Itu pun harus dilihat dari jarak orbit yang lebih dekat ke Bumi, dan mustahil kalau dilihat dari bulan.
Pelajaran penting dari artikel ini, kalau dengar ataupun baca klaim-klaim tertentu yang “bombastis”, jangan langsung percaya, bisa jadi itu hanya hoax (kebohongan). Dan sebetulnya masih banyak lagi hoax “sok ilmiah” yang tersebar di masyarakat yang dikait-kaitkan dengan ilmu tertentu seperti astronomi atau fisika. Harap berhati-hati, ya. Kita coba gunakan nalar dan kemampuan analitis kita untuk menentukan suatu klaim sebagai hoax atau bukan. J
Bahan bacaan:
- http://www.nasa.gov/vision/space/workinginspace/great_wall.html
Penulis:
Reinard Primulando, peneliti fisika partikel dan dosen di Unpar Bandung.
Kontak: reinard_p(at)yahoo(dot)com.