Sekolah Basis Generasi Perawat Peradaban

Suatu hari di grup WhatsApp muncul pertanyaan, “Bagaimana cara mengajar persiapan UN Bahasa Indonesia bagi siswa yang malas membaca?” Tentu pertanyaan ini menjadi pemantik yang menguras pikiran orang-orang di dalam grup tersebut. Siapa yang tak tahu bagaimana panjangnya teks-teks soal bahasa Indonesia di tiap ujian sekolah, khususnya UN.

Pertanyaan itu kemudian disambut dengan berbagai jawaban, mulai dari jawaban bernada filosofis, taktik strategis, hingga teknik-teknik mendasar yang mungkin untuk dilakukan saat pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung. Sungguh, betapa mirisnya jika di sekolah para siswa tidak lagi akrab dengan buku-buku, baik itu buku cerita fiksi maupun bacaan umum. Mau ke mana peradaban kita ini bermuara?

Gerakan Literasi Nasional yang dicanangkan pemerintah. Sumber gambar: Kompasiana.com

Menjadi sebuah ironi yang besar ketika zaman sudah mengarah ke peradaban literasi digital, ditandai dengan kehadiran gawai (gadget) ke dalam kehidupan kita, justru membuat semangat literasi menjadi redup bahkan padam. Padahal, dengan adanya kemajuan teknologi itu bisa menjadi pelecut bangkitnya semangat literasi modern, alias literasi dengan memanfaatkan teknologi, misalnya dengan membaca situs web, membaca e-book, hingga jurnal-jurnal penelitian yang tersebar di internet.

Redupnya semangat literasi disebabkan keengganan untuk membaca. Menurut Taufik Ismail, hal tersebut merupakan ciri dari generasi nol buku, yaitu generasi yang lemah secara literasi, tidak punya referensi, dan enggan bergumul dengan bacaan. Kasarnya dapat dikatakan, “Rabun membaca, pincang mengarang.” Rabun karena tidak akrab dengan bacaan-bacaan. Selain itu, pincang membuat karangan-karangan, karena tak terbiasa mengarang dan tak punya referensinya. Generasi nol buku akan melahirkan generasi nol gagasan.

Generasi nol gagasan akan berakibat lahirnya generasi nol inisiatif. Generasi nol inisiatif akan menyebabkan tumbuh suburnya generasi nol kepedulian. Pada akhirnya, generasi nol buku akan menghentikan laju peradaban karena menulis adalah mengukir peradaban dan membaca adalah merawat atau menghidupkan peradaban itu sendiri. Maka, dengan sendirinya peradaban kita akan pincang jika generasi muda tidak gemar membaca. Kemiskinan literasi sama dengan kemiskinan pendidikan, kemiskinan akses, kemiskinan politik, dan kemiskinan teknologi.

Hal yang dihawatirkan oleh Taufik Ismail sesuai dengan data yang diperoleh dari data.worldbank.org tahun 2016 yang memaparkan hampir 70% orang dewasa di Jakarta mendapatkan skor di bawah level 1 dalam melek huruf yang angkanya lebih besar dibanding dengan negara lain. Orang dewasa pada level ini hanya dapat membaca singkat teks yang tidak membutuhkan sebuah analisis. Mereka berada pada level terendah dalam berliterasi. Sungguh fenomena yang memprihatinkan di tengah kemajuan zaman yang mengharuskan generasi mudanya melek literasi. Padahal, literasi ekonomi, literasi teknologi, literasi politik, hingga literasi budaya terus mengalami kemajuan secara global. Jika sikap tidak gemar membaca terus dipelihara, bangsa ini akan runtuh di tengah semangatnya budaya literasi. Pekerjaan rumah bagi para pendidik untuk membangun kesadaran literasi.

Merawat peradaban

Suatu tugas yang sangat penting untuk membangun peradaban manusia. Ini menjadi salah satu tanggung jawab lembaga pendidikan, khususnya pendidik atau para guru. Secara filosofis, siapa saja di alam raya ini adalah guru. Manusia bisa belajar dari apa pun, bahkan dari perilaku binatang sekalipun. Dalam konteks peran lembaga pendidikan, guru adalah profesi yang bertanggung jawab melahirkan generasi perawat peradaban karena mereka yang mengembangkan potensi siswa baik secara kognitif, afektif dan psikomotorik.

Para siswa di sekolah adalah calon generasi perawat peradaban, yang merupakan kebalikan dari generasi nol buku. Generasi ini memiliki gairah literasi yang tinggi. Berbagai platform kemudian bisa digunakan untuk mewujudkan pikiran-pikirannya. Bahkan, generasi ini bisa menciptakan pemikiran-pemikiran monumental mengenai berbagai hal. Misalnya saja dalam menggunakan internet dan media sosial.

Upaya merawat generasi peradaban dan mengembangkannya tidak cukup hanya dengan transfer pengetahuan (transfer of knowledge) kepada siswa. Guru yang berpikir maju juga senantiasa berkontemplasi bagi kemajuan siswa-siswanya karena mereka adalah aset terbesar bagi bangsa di masa depan. Menyemai kebiasaan membaca dan menulis adalah kewajiban karena menulis termasuk pada keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa. Mendidik generasi masa kini agar melek terhadap literasi tidak bisa hanya dengan nasihat, tetapi memberikannya contoh.

Guru bisa menjadikan ruang media sosial, blog, atau bahkan mading sekolah untuk memublikasikan tulisan-tulisannya sehingga para siswa terlecut untuk berkompetisi menjadi lebih baik dari gurunya. Majalah 1000 guru dapat menjadi salah satu sarana yang mewadahi tulisan-tulisan dari berbagai kalangan, termasuk guru dan siswa. Dengan begitu, segala keresahan di dunia pendidikan kita bisa dievaluasi bersama.

Teladan yang diberikan oleh guru melalui aktivitas positif dalam menggunakan internet dapat ditiru oleh generasi perawat peradaban sehingga mereka menggunakan media internet atau sekolah virtualnya sebagai lahan untuk belajar berbagai hal, mulai dari sastra, teknologi, memasak, hingga membuat kerajinan. Informasi di internet begitu banyak dan ini menjadi suatu hal yang sangat menggairahkan bagi generasi perawat peradaban. Generasi perawat peradaban dapat pula memanfaatkan media sosial untuk menebar ilmu dan karya, baik itu karya berupa tulisan maupun video.

Berdasarkan uraian di atas, sekurang-kurangnya ada lima langkah untuk membangun generasi perawat peradaban ini. Pertama, bangun budaya literasi dengan membiasakan membaca sebelum belajar dimulai. Kedua, biasakan ajak siswa mengunjungi perpustakaan fisik maupun digital. Ketiga, manfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran, misalnya media sosial sebagai ruang siswa melaksanakan tugas sekolahnya. Keempat, buat platform berupa blog atau grup bersama siswa untuk mengumpulkan berbagai tugas. Terakhir, sekolah mengapresiasi setiap hasil kerja siswa dan guru dengan baik, misalnya dengan memberikan penghargaan.

Mudah-mudahan kita semua dapat mewujudkan generasi perawat peradaban sebagai generasi yang siap menghadapi gempuran era Revolusi Industri 4.0 yang serba terintegrasi dengan koneksi internet. Wallahu a’lam.

Bahan bacaan: 

  • Generasi Nol Buku: Yang Rabun Membaca, Pincang Mengarang. Taufik Ismail.
  • Makalah pidato Habibie Award 2007.
  • https://data.worldbank.org/indicator/SE.ADT.LITR.ZS

Penulis:   

Ahmad Soleh, pegiat literasi, alumnus FKIP UHAMKA.

Back To Top