Membina Kemandirian Energi Berbasis Kearifan Lokal

Indonesia adalah negara yang sangat luas, di mana antar satu daerah dengan daerah lainnya memiliki karakteristik yang berbeda jika dilihat dari faktor geografis maupun sosial budaya dan ekonomi. Kondisi yang demikian menjadikan tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki permasalahan yang berbeda. Sehingga setiap daerah memiliki cara yang berbeda pula untuk mengatasi permasalahan yang ada. Salah satu masalah yang sedang hangat dibicarakan saat ini adalah mengenai pasokan energi, baik di daerah maupun pusat.

Notabenenya, permasalahan ketersediaan energi di daerah perkotaan maupun pusat ibu kota cenderung jauh lebih mudah diatasi, karena akses yang mudah. Sedangkan terbatasnya akses di daerah terpencil menjadikan tempat tersebut sangat sulit untuk dijangkau. Sehingga cara penyelesaian terbaik dalam mengatasi ketersediaan energi di daerah tersebut adalah dengan menciptakan sumber energi yang berasal dari sumber daya lokal di daerah tersebut.

Salah satunya adalah distrik Bomberay yang berjarak sekitar 163 kilometer dari pusat kota Fak-fak. Dengan kondisi infrastruktur transportasi yang belum baik, dibutuhkan waktu sekitar 8 jam untuk sampai menuju distrik tersebut dengan menggunakan truk yang hanya ada satu kali dalam sehari. Kondisi yang demikian menjadikan harga kebutuhan melambung tinggi, tidak terkecuali kebutuhan masyarakat akan sumber energi. Termasuk harga minyak yang berkisar antara lima hingga enam ribu rupiah per liternya.

Mochammad Subkhi merupakan salah satu guru dari yayasan Gerakan Indonesia Mengajar yang ditempatkan di distrik Bomberay merupakan penggagas pembangunan reaktor biogas di distrik tersebut, pada tahun 2011 lalu, yang merupakan proyek awal dari pembangunan desa mandiri energi. Biogas diambil sebagai solusi karena distrik Bomberay dikenal sebagai pusat peternakan sapi di kabupaten Fak-fak. Sehingga kotoran sapi yang digunakan sebagai bahan baku biogas dapat diperoleh dengan mudah.

Dalam perencanaan yang dibuat, reaktor biogas ini harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain:

  1. Proses pembuatannya yang sederhana, sehingga dapat diproduksi secara lokal oleh masyarakat,
  2. Bahan baku yang digunakan mudah didapatkan didaerah sekitar dengan harga yang terjangkau,
  3. Dapat memenuhi kebutuhan energi sekurang-kurangnya untuk satu kepala keluarga dari setiap reaktor biogas, dan
  4. Mudah dalam proses pengoperasian dan perawatannya oleh masyarakat. Empat kriteria tersebut ditentukan agar ke depannya program pembangunan reaktor biogas ini memiliki keberlangsungan yang panjang dalam memenuhi kebutuhan enegi bagi masyarakat Bomberay.

Sebelum melakukan proses produksi, terlebih dahulu Subkhi melakukan observasi dan sosialiasi yang memakan waktu hingga tiga bulan. Menurutnya, hal ini bertujuan agar program ini didukung sepenuhnya oleh seluruh elemen masyarakat, sehingga diharapkan proses produksinya akan lebih mudah dilakukan. Selain itu, ada efek pembelajaran kepada masyarakat, sehingga ke depannya masyarakat dapat melakukannya secara mandiri.

Pembuatan reaktor ini sendiri 100 persen dilakukan di distrik Bomberay dengan bahan baku lokal sebesar 90 persen. Jenis reaktor ini menggunakan sistem reactor continuous dengan penampungan gas floating dome yang berasal dari bahan drum. Dengan kapasitas tabung digester sebesar 400 liter, tabung pencampur 200 liter dan tabung penampung gas sebesar 100 liter.

Kotoran sapi dicampur dengan air dan diaduk hingga homogen dengan perbandingan 1:2 di dalam tabung pencampuran. Kemudian kotoran yang sudah bercampur dengan air di masukkan ke dalam tabung digester dan dibiarkan selama 3 hingga 7 hari untuk menghasilkan gas metana. Gas metana yang dihasilkan akan mengalir dengan sendirinya menuju tabung penampungan gas. Pengisian bahan baku biogas ini sendiri dilakukan selama dua hari sekali, dan jika bahan baku baru dimasukkan maka bahan baku yang telah berfermentasi di dalam tabung digester akan keluar dengan sendirinya melalui saluran tersendiri (outflow). Sisa bahan baku ini yang dimanfaatkan sebagai pupuk. Menurut hasil yang diperoleh, satu karung kotoran sapi (20 kilogram) dapat mengisi penuh tabung berukuran 75 liter selama 10 hari.

Untuk sementara biogas yang diproduksi hanya untuk menggantikan minyak tanah sebagai bahan baku keperluan rumah tangga dan belum berperan sebagai penerangan di distrik Bomberay yang masih belum memperoleh listrik. Sehingga nantinya warga tidak lagi bergantung terhadap pasokan minyak tanah yang mahal dan langka karena  jalur distribusi yang tidak lancar.

Selain itu, menurut Subkhi, dengan adanya program biogas ini kepedulian masyarakat untuk mengandangkan hewan ternaknya meningkat, sehingga sapi yang sebelumnya digembalakan secara liar tidak lagi merusak tanaman perkebunan dan persawahan. Program ini mendapatkan apresiasi dari Kepala Dinas Pertanian dan Kepala Bappeda Kabupaten Fak-fak, serta menarik minat masyarakat lain, bahkan berasal dari luar desa. Beberapa kelompok tani juga mulai melirik produk sampingan berupa pupuk kompos. Dengan adanya program ini, diharapkan masyarakat setempat mengurangi kebergantungannya terhadap pasokan minyak tanah dan pupuk.

Tulisan ini merupakan hasil reportase pada tahun 2012.

Teknologi biogas diterapkan dengan modifikasi dan adaptasi agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekaligus ketersediaann sumber daya yang ada. (Mochammad Subkhi, Pengajar Muda angkatan II)

Penulis:
Indarta Kuncoro Aji
Mahasiswa Doktor di Jurusan Teknik Mesin, The University of Electro-Communications, Jepang.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top