
Gempa berkekuatan 7 skala Richter yang mengguncang daerah Lombok, Nusa tenggara Barat, beberapa waktu yang lalu mengakibatkan sebanyak 71.692 unit rumah rusak dengan klasifikasi kerusakan 32.016 unit rusak berat, 3.173, rusak sedang, dan 36.773 rusak ringan. Namun, kalangan relawan menyebutkan bahwa sejumlah rumah adat berbahan kayu masih kokoh berdiri meskipun diguncang gempa tektonik beberapa saat yang lalu. Bagaimanakah rumah warisan nenek moyang ini mampu menahan guncangan gempa yang mampu merobohkan rumah-rumah modern tersebut?
Gaya arsitektur yang dirancang berdasarkan kebutuhan lokal, ketersediaan bahan bangunan, dan kondisi iklim serta diturunkan secara turun-temurun tanpa ada teori njelimet dan intervensi arsitek profesional disebut dengan arsitektur vernakular. Arsitektur vernakular merupakan hasil trial and error dalam teknologi bangunan yang dilakukan oleh nenek moyang kita demi menghasilkan hunian yang sesuai dengan kondisi lokal yang ada. Frank Lyod Wright menggambarkan bahwa arsitektur vernakular sebagai sebuah bangunan yang mana masyarakat dimunculkan untuk menanggapi kebutuhan yang ada sesuai dengan kondisi sekitar lingkungan, dan dibangun oleh orang-orang yang mengetahui secara jelas kebutuhan yang diinginkannya.
Kondisi geografis Lombok yang berada pada Ring of Fire membuat nenek moyang bangsa Indonesia harus mampu untuk beradaptasi dengan kondisi alam tesebut. Bentuk adaptasi ini menghasilkan arsitektur vernakular yang tercermin dari detail rumah adat yang secara turun temurun telah diwariskan.
Terdapat dua jenis rumah tradisional Lombok, yang pertama yaitu lumbung padi yang berfungsi sebagai tempat menyimpan padi dan segala jenis hasil panen dan yang kedua adalah rumah yang digunakan untuk tidur dan memasak. Kedua jenis rumah ini terbuat dari kayu yang saling dikaitkan satu lainnya dengan sistem baji atau pasak. Ikatan sambungan semacam ini dinilai sangat dinamis sehingga mampu menahan goncangan yang tinggi seperti gempa. Pada prinsipnya, rumah-rumah ini dibuat bukan untuk memperkuat struktur dan sambungannya, melainkan untuk memperbesar fleksibilitas strukturnya. Pasca gempa, biasanya masyarakat akan membenarkan posisi pasak-pasak yang menonjol keluar dengan cara dipukul-pukul.
Penggunaan material kayu atau bambu pada rumah adat juga membuat rumah memiliki lebih banyak kelenturan terhadap guncangan gempa. Bahan ringan seperti kayu ini dinilai lebih aman untuk diterapkan pada rumah, karena yang berbahaya dari gempa bukanlah peristiwanya, namun rubuhnya bangunan akibat gempa. Penggunaan kayu mampu menghasilkan kemampuan meredam getaran yang lebih efektif, fleksibel, dan stabil. Sebagian besar rumah tradisional juga dibuat dengan bentuk yang simetris. Hal inilah yang memberikan pengaruh pada kestabilan rumah adat. Dengan bentuk yang simetris, sebaran beban pada rumah adat akan merata sehingga kestabilan dapat terjaga.
Bahan bacaan:
- https://economy.okezone.com/read/2017/01/15/470/1591905/bangunan-adat-indonesia-tahan-gempa
- https://www.arsitag.com/article/apa-itu-arsitektur-vernakular
Penulis:
Faradisa Bintana Aulia, Alumnus Program Studi Arsitektur, Universitas Gadjah Mada.
Kontak: faradisa(dot)faradisa(at)gmail(dot)com.