Fenomena Kimia di Balik Cahaya Indah Kunang-Kunang

Kunang-kunang adalah serangga kecil yang terbang ke sana kemari sambil memancarkan beragam cahaya indahnya di malam hari. Dahulu kita dapat dengan mudah melihat kunang-kunang di tempat-tempat seperti danau, sawah, atau hutan setelah hujan reda. Namun, saat ini populasi kunang-kunang semakin menurun dan semakin sulit ditemukan disebabkan oleh polusi cahaya ketika malam hari dan rusaknya sebagian besar habitat kunang-kunang.

Cahaya kunang-kunang sendiri sering disebut sebagai cold light (cahaya dingin) oleh para ilmuwan karena cahaya kunang-kunang tidak menghasilkan panas sampingan. Tidak seperti lampu bohlam, hampir 100% energi yang digunakan kunang-kunang diubah menjadi “cahaya tampak” (visible light) yang berwarna kuning, hijau, ataupun oranye dengan panjang gelombang antara 510 sampai 670 nm. Sinar-sinar ini dimanfaatkan oleh kunang-kunang antara lain untuk berkomunikasi dengan sesamanya, menarik pasangan, hingga digunakan untuk memberi peringatan ketika terancam oleh pemangsa.

Skema tubuh kunang-kunang.

Tahukah kalian, di balik sinar indah serangga dari famili Lampyridae ini tersembunyi mekanisme reaksi kimia yang belum sepenuhnya terpecahkan oleh para ilmuwan? Reaksi kimia itu disebut bioluminescence. Pada dasarnya, bioluminescence pada kunang-kunang memanfaatkan zat kimia bernama luciferin dan enzim luciferase yang terdapat di dalam sel pada abdomen kunang-kunang.

Struktur kimia luciferin.

Luciferin akan bereaksi dengan adenosine triphosphate (ATP) membentuk luciferyl adenylate dan pyrophosphate (PPi) pada permukaan enzim luciferase.

Luciferin + ATP → luciferil adenylate + PPi

Kemudian, luciferyl adenylate akan bereaksi dengan oksigen menghasilkan oxyluciferin, adenosine monophosphate (AMP), dan energi berupa cahaya yang dapat dilihat sebagai cahaya warna-warni kunang-kunang.

Luciferyl adenylate + O2 → oxyluciferin + AMP + cahaya

Namun, dalam mekanisme reaksi di atas, para ilmuwan menemukan bahwa luciferin dan oksigen tidak dapat bereaksi dengan mudah. Hal ini tetap menjadi misteri selama 60 tahun hingga akhirnya pada tahun 2015, peneliti dari Connecticut College bernama Bruce Branchini dan timnya berhasil menyingkap misteri tersebut. Ternyata, oksigen yang digunakan dalam proses bioluminescence bukanlah oksigen biasa, melainkan berada dalam bentuk anion superoksida (oksigen dengan elektron berlebih).

Reaksi bioluminescence dengan anion superoksida

Dengan memahami mekanisme bioluminescence, kita dapat lebih mudah memproyeksikan penerapan bioluminescence dalam berbagai bidang seperti bidang kedokteran maupun bidang energi. Sebagai contoh, cahaya dari zat kimia luciferin dapat digunakan untuk mendeteksi sel tumor dan kanker atau mungkin di kemudian hari dapat diciptakan pohon-pohon glow in the dark yang dapat menggantikan lampu jalanan di malam hari.

Bahan bacaan:

Penulis:
Tsamara Tsani, mahasiswi S-1 jurusan Transdisciplinary Engineering di Tokyo Institute of Technology.
Kontak: tsamaratsani(at)yahoo(dot)co(dot)id.

Back To Top