Pernahkah kamu membayangkan bahwa di planet Bumi ini ada sekumpulan makhluk hidup yang menjaga kehangatan tubuhnya dengan berselimutkan salju? “Ah, jangan bercanda! Salju kan dingin, mana mungkin ada yang mencari kehangatan di situ!” mungkin begitu pikirmu. Tapi percayalah, mereka benar-benar ada!
Subnivium adalah nama area di antara tumpukan salju dan tanah yang akan segera kita bahas. Berasal dari bahasa Latin nivis (salju) dan sub (di bawah), subnivium menjadi salah satu ekosistem paling penting yang masih jarang diperhatikan spesies kita. Subnivium memiliki suhu stabil sekitar 0°C. Terdengar masih cukup dingin, ya? Benar, meskipun begitu ternyata suhu di subnivium malah belasan derajat lebih hangat daripada di daerah luarnya loh.
Suhu stabil dan menghangatkan yang dimiliki subnivium membuat banyak spesies betah tinggal di dalamnya. Bahkan, banyak di antaranya yang memiliki ketergantungan pada keberadaan subnivium. Keberadaan subnivium merupakan salah satu faktor hidup-mati mereka. Organisme tersebut antara lain adalah beberapa spesies burung, celurut, tikus, dan banyak dari jenis lumut serta rerumputan.
Di balik fungsinya yang sangat penting, pembentukan subnivium ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor dan tidak sesederhana yang mungkin orang bayangkan, “Ah, kan tinggal numpuk salju aja.” Kenyataannya, faktor-faktor seperti periode turunnya salju, ketebalan, dan kepadatan tumpukan salju sangat berpengaruh. Beberapa ilmuwan bahkan mengatakankan bahwa ketebalan tumpukan salju minimal harus sekitar 8 inchi atau 20,32 cm.
Salju yang menumpuk dengan kepadatan rendah (di antara tumpukan satu dan yang lain terdapat rongga berisi udara) akan mampu memerangkap udara panas. Dengan kata lain, subnivium di bawah tumpukan salju dengan kondisi ketebalan yang cukup dan kepadatan yang rendah akan memiliki kapasitas insulatif yang baik. Sebaliknya, subnivium dengan kepadatan tinggi (sedikit atau tidak ada rongga udara) akan memiliki suhu yang lebih rendah.
Kondisi subnivium yang sangat rentan terhadap perubahan suhu membuat para ahli ekologi tertarik mempelajari efek pemanasan global pada ekosistem subnivium. Mereka menemukan bahwa durasi musim bersalju (ketika frekuensi hujan yang turun lebih sedikit dibandingkan turunnya salju) di bumi menjadi lebih pendek sejak tahun 1970-an. Hal ini menyebabkan berkurangnya ketebalan tumpukan salju yang membentuk subnivium. Banyaknya hujan yang turun juga menambah kepadatan tumpukan salju. Akibatnya, kapasitas insulatif salju menurun sehingga suhu subnivium semakin dingin.
Dengan bertambah dinginnya subnivium, para ilmuwan memperkirakan akan ada pergeseran dalam distribusi spesies yang bergantung pada subnivium. Selain itu, sebuah penelitian lain menemukan bahwa menghilangnya tumpukan salju di daerah tempat subnivium biasanya ada dapat menyebabkan kerusakan akar pada beberapa jenis tanaman, bahkan kematian pada tanaman lainnya.
Kematian beberapa jenis tanaman menimbulkan efek domino, contohnya pada tanaman semak lingonberry dan alpine buttercup. Kedua tanaman tersebut sangat berarti bagi kehidupan hewan-hewan pengerat kecil sekaligus hewan besar seperti rusa yang biasa mencari makanan di sekitar kedua tanaman tersebut. Hewan-hewan pengerat membuat terowongan di dalam subnivium, membuat mereka aman dari suhu dingin dan predator. Mereka juga meninggalkan kotoran yang berfungsi sebagai pupuk bagi tanaman. Dengan hilangnya subnivium, siklus dalam ekosistem macam ini akan terganggu.
Penemuan ini sekaligus menjawab pertanyaan sebagian orang, “Apakah musim dingin yang lebih hangat memberikan efek yang lebih baik?” Bagi manusia, mungkin jawabannya “iya” karena manusia cenderung menyukai hal-hal yang menguntungkan kelompok mereka sendiri. Tapi ternyata, bagi teman-teman kita yang hidupnya di musim dingin bergantung pada subnivium, efek musim dingin yang menghangat ini malah mengerikan.
Bahan bacaan:
- http://labs.russell.wisc.edu/zuckerberg/research/subnivium/
- https://aeon.co/ideas/beneath-the-snowpack-lies-a-secret-ecosystem-the-subnivium
Penulis:
Annisa Firdaus Winta Damarsya, alumnus Biological Science, School of Science, Nagoya University.