Pada kurikulum 2013 yang pelaksanaannya mengundang kontroversi, ada perubahan berarti dalam apa yang harus dipelajari oleh anak SD di Indonesia. Mata pelajaran (mapel) di SD berubah menjadi Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, Penjaskes Olahraga, sementara IPA dan IPS diajarkan secara terpadu dan tematik.
Sebenarnya apa yang harus dipelajari anak SD? Anak-anak yang duduk di bangku SD adalah anak-anak yang berusia 6 tahun sampai dengan 12 tahun. Dalam rentang usia seperti itu, sudah dipelajari dalam psikologi perkembangan bahwa mereka adalah manusia muda yang sedang dipersiapkan menghadapi kegiatan belajar yang sesungguhnya, yaitu kegiatan belajar yang mengoptimalkan penggunaan otak, hati, dan fisik.
Anak-anak SD dalam perkembangan intelektualnya belum dapat memahami konsep-konsep yang abstrak, tetapi mengenali benda-benda secara konkretnya saja. Oleh karena itu, sulit untuk mereka diajari tentang konsep-konsep semacam akidah dalam suatu agama, kecuali dengan membiasakannya melalui perbuatan-perbuatan yang merupakan implikasi akidah yang baik.
Secara emosional, anak-anak masih labil dan belum bisa mengontrol emosinya sendiri. Wajar, jika mereka meminta sesuatu dan tidak dipenuhi, mereka akan menangis. Jiwa sosialnya juga belum matang sehingga ketika bermain dengan teman, masih sering muncul pertengkaran tentang kepemilikan alat bermain.
Dalam kemampuan bahasa, mereka sedang belajar meniru ucapan-ucapan yang diucapkan oleh orang dewasa, kadang-kadang mereka sekedar menirunya tanpa tahu artinya. Mereka belum bisa membedakan bahasa yang sopan dan harus diucapkan kepada siapa. Maka, jangan heran, ketika mengajak berkenalan orang dewasa, dengan lugunya mereka mengatakan, “Namamu siapa?” Mereka belum tahu apa perbedaan, “-mu”, “-nya”, “Bapak/Ibu”, dll.
Pada dasarnya siswa SD dapat dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu kelas rendah (kelas 1, 2, dan 3), dan kelas atas (4, 5, 6). Jika hendak dibagi lebih ketat lagi, kita bisa membagi kelas 1,2, dan 3 sebagai kelas dasar, kelas 4 dan 5 adalah kelas menengah, dan kelas 6 adalah kelas atas. Pembagian ini menentukan perbedaan pengetahuan dan keterampilan yang seharusnya diajarkan.
Anak-anak kelas dasar adalah kelompok yang baru saja mengalami proses peralihan dari fase bermain di TK menjadi proses “duduk dengan tenang” di atas kursi, dan mulai “bersiap-siap” untuk belajar. Apa yang dipelajari dalam Masa Persiapan Belajar? Mereka diajari sikap-sikap baik dalam belajar, misalnya duduk dengan tegak, tidak berbicara ketika guru menerangkan, tidak berteriak, tidak menangis, menggunakan pensil dengan benar untuk menulis, membunyikan huruf dengan benar, menggabungkan kata-kata sederhana menjadi kalimat pendek, dan menghitung benda-benda yang dimilikinya.
Anak-anak pada kelompok kelas dasar selain belajar menjadi “manusia di dalam kelas”, juga belajar menjadi “manusia di dalam keluarga dan lingkungan rumahnya”. Di sekolah, mereka tidak diajari melipat baju, merapikan tempat tidur, mandi sendiri, membantu ibu menyiapkan sarapan, merapikan meja makan, dll. Oleh karena itu, pembiasaan yang lekat dengan keperluannya sehari-hari perlu dituntunkan di rumah. Dan ini bukan dilakukan oleh pembantu, melainkan oleh orang tua.
Dalam kaitannya sebagai makhluk sosial, anak-anak dibimbing mengenali kehidupan bersama. Ketika berjalan di trotoar, tidak hanya mereka yang berjalan di situ, tetapi ada pejalan kaki yang lain, ada pengendara sepeda, ada pemakai sepatu roda, ada penyandang disabilitas, ada kakek-nenek, sehingga mereka perlu belajar “berbagi jalanan”. Ketika berada di dalam kendaraan umum, mereka belajar mengenali para pengguna kendaraan umum sekaligus belajar “berbagi kendaraan”. Anak-anak melihat peristiwa-peristiwa itu sehari-hari dan guru di sekolah membantu memahami fakta konkret itu melalui penjelasan yang mudah dimengerti oleh anak.
Berdasarkan logika berpikir di atas, anak-anak kelas rendah sebaiknya diajari pembiasaan tugas-tugas kemandirian sehari-hari melalui satu mapel. Pelajaran yang berfungsi untuk pembentukan fisik, kejiwaan/kepekaan, dan kemampuannya untuk belajar perlu diberikan pada level ini. Pelajaran berhitung (bukan matematika), pelajaran olah raga, seni musik, seni lukis, keterampilan, bahasa (ibunya), moral, praktik ibadah sesuai agamanya, itulah yang perlu diberikan. Fungsi dari mapel itu adalah mempersiapkan siswa untuk belajar yang lebih tinggi dan rumit.
Di kelas-kelas atas, otak, emosi, spiritual, dan jiwa sosial anak mulai berkembang ke level siap belajar dan berargumentasi sederhana. Anak-anak mulai belajar memahami fakta-fakta alam dan masyarakat di sekitarnya. Mereka mulai memahami mengapa di jalan raya perlu diberi lampu lalu lintas dan mengapa semua kendaraan harus berhenti ketika lampu merah menyala. Mereka juga mulai bisa mencerna, mengapa ketika hendak naik kereta semua harus antre membeli tiket, dan berbagai norma-norma dasar dan prinsip dalam masyarakat.
Dalam kaitannya dengan sains, anak-anak belajar tentang konsep asal-usul makhluk, mengenal ada manusia kanak-kanak, orang muda, orang dewasa, dan kakek nenek. Mereka mulai belajar tanaman di sekitarnya tumbuh, berkembang, dan mati. Mereka mempelajari bahwa serangga, hewan-hewan di sekitarnya lahir, besar, dan akhirnya mati. Mereka akan menyadari bahwa sama dengan dirinya, hewan-hewan itu suatu kali sakit. Mereka mulai belajar, mengapa perutnya sakit ketika makan sesuatu tanpa cuci tangan.
Dalam kaitannya dengan ilmu sosial, yang perlu dipelajari adalah norma-norma hidup bersama di sekolah, di rumah, dan di tempat-tempat umum. Anak-anak belajar untuk mendapatkan sayur-mayur, ibu perlu datang ke pasar, berinteraksi dengan penjual. Untuk bepergian ke suatu tempat, mereka perlu ke terminal, ke stasiun, ke bandara, dan ada orang-orang yang bekerja di sana supaya semuanya lancar. Untuk menjaga masyarakat agar tertib, maka di tingkat terendah ada Ketua RT, Ketua RW, Pak Lurah, Pak Kades, hingga akhirnya mereka memahami mengapa negara perlu dipimpin seorang Presiden.
Banyak masalah-masalah sosial yang perlu diperkenalkan kepada anak kelas atas SD, tetapi belum waktunya pada usia mereka dipaksa belajar tentang kerumitan organisasi pemerintahan, lembaga-lembaga negara, sebelum diajak memahami kerumitan pengaturan masyarakat di tingkat RT/RW-nya. Jadi, selayaknya SD kelas atas belajar IPA, IPS, Matematika, dan Bahasa secara terpisah. Jika dipadukan, hilanglah esensi pembelajaran dasar-dasar sains dan ilmu sosial yang kontekstual.
Pelajaran bahasa semasa SD semestinya berkembang pada kemampuan anak untuk menulis, membaca dengan bacaan yang kerumitannya berjenjang, memahami kalimat-kalimat yang kompleks, dan berkomunikasi dengan kalimat-kalimat yang lebih kompleks. Kemampuan berbahasa adalah modal untuk berkomunikasi dalam bidang sains dan sosial.
Dalam sains dan sosial, anak-anak mulai mempelajari dan mempraktikkan pendekatan ilmiah sederhana untuk membuktikan bahwa air mengalir ke tempat yang rendah, bahwa tanpa cahaya, apapun tidak terlihat oleh mata, bahwa bahwa tanaman tidak dapat tumbuh tanpa air, bahwa air dapat berubah menjadi padat, dan uap. Kemampuan teknis yang diajarkan dalam bidang sains dan sosial adalah penggunaan alat-alat bantu sains, mikroskop, teleskop, termometer, alat ukur, alat timbang, dan pemanfaatan metode berpikir ilmiah.
Dalam pelajaran bahasa, mereka mempelajari tata bahasa yang baku, sekaligus melatih kepekaan karsanya melalui pengenalan susunan kata-kata yang indah, kalimat-kalimat yang cantik untuk menyatakan warna lembayung di langit sore. Dalam pelajaran bahasa, kemampuan yang ditekankan adalah menulis, membaca, dan berkomunikasi.
Tentunya, pelajaran bahasa serta pelajaran sains dan sosial sangatlah berbeda dalam hal kognitif, psikomotorik, dan afektif yang harus dicapai. Lalu, mengapa dipaksakan untuk digabungkan dalam tematik terintegratif? Pelajaran bahasa boleh jadi mengambil topik sains dan sosial dalam bacaan-bacaannya. Namun, dalam mempelajari sains, bahasa adalah alat bantu, dan anak tidak perlu dipaksa mempelajari gaya bahasa hiperbola dalam sains.
Mungkin akan ada baiknya jika mengembalikan pelajaran IPA dan IPS pada tempat yang selayaknya. Demikian pula Bahasa Indonesia, Matematika, dikembalikan pada posisinya masing-masing seperti semula.
Catatan:
Artikel ini pernah dimuat dalam blog milik penulis di http://murniramli.wordpress.com dan kembali dimuat di majalah 1000guru dengan sedikit penyesuaian.
Penulis:
Murni Ramli, dosen di Jurusan Pendidikan Biologi di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, serta alumnus Graduate School of Education and Human Development, Nagoya University. Kontak: moernier(at)gmail(dot)com.