Daniel Coyle dalam bukunya The Talent Code (2009) mencoba mengajukan beberapa pertanyaan menarik.
“Mengapa klub tenis miskin di Rusia, dengan ruangan latihan seadanya mampu menciptakan pemain tenis terbaik dunia?”
“Mengapa sekolah musik yang sederhana di Dallas, Texas, mampu menghasilkan pemain musik top dunia seperti Jessica Simpson dan Demi Lovato?”
“Mengapa Shakespeare bisa menjadi penulis legendaris padahal orang tuanya adalah seorang pengusaha?”
Pertanyaan-pertanyaan di atas membawa Daniel Coyle pada satu kesimpulan bahwa kemampuan dapat lahir dari keterampilan yang diulang berkali-kali, tidak tergantung dari siapa orang tuanya ataupun fasilitas latihan yang sederhana. Dari hasil penelitiannya, ia menemukan bahwa untuk sukses dalam bidang tertentu, diperlukan latihan setidaknya 10.000 jam akumulatif secara konsisten. Hasil penelitian ini memang kerap diperdebatkan, tetapi setidaknya memberikan panduan dan motivasi bahwa siapapun dapat sukses menjadi apapun dengan berbekal ketekunan.
Hampir sama dengan Daniel Coyle, di Indonesia pernah ada Yohannes Surya, mantan pembina Tim Olimpiade Fisika Indonesia, yang meyakini bahwa latihan berulang-ulang dapat menjadikan setiap anak mampu juara pelajaran sesulit fisika sekalipun. Ada lebih dari 54 medali emas, 33 medali perak, dan 42 medali perunggu untuk kategori sains tingkat internasional yang diraih anak-anak didiknya, termasuk dari anak-anak yang berasal dari daerah yang sering dianggap tertinggal.
Bakat yang hilang
Prof. Emil Salim mencatat, dalam buku Menjadi Indonesia, bahwa puncak karir seseorang berada pada usia 40 tahun, dan yang menentukan pencapaian tersebut adalah apa yang dilakukan diusia 20-an tahun. Artinya, bakat yang luar biasa akan tumbuh seiring dengan pengalaman yang konsisten dan diulang-ulang yang dipersiapkan sedini mungkin.
Tidak jauh berbeda dengan Emil Salim, Sarlito Wirawan, Profesor Psikologi Univesitas Indonesia, sudah jauh-jauh hari menekankan pentingnya sebuah kebiasaan yang konsisten. Ia terang-terangan menyatakan diri sebagai pengikut mazhab psikologi perilaku yang mengakui kebiasaan dan lingkungan sebagai pembentuk perilaku manusia, sama seperti kebiasaannya yang sejak masih muda dilatih untuk terus-menerus menulis (beliau menulis sejak jam tiga subuh hampir setiap hari) sehingga mengantarkan ia mencapai puncak karir tertinggi dalam bidang akademik.
Di Selandia Baru, sekolah sudah membangun “kebiasaan baik” sebagai instrumen utama dalam membentuk karakter siswa. Sekolah di sana sudah mewajibkan siswanya mengambil hanya dua mata pelajaran, yaitu matematika dan bahasa Inggris. Di dua mata pelajaran ini, kelas dibagi berdasarkan kemampuan, mulai dari akselerasi sampai rata-rata dan yang masih butuh bimbingan. Selebihnya, siswa diberikan kebebasan untuk memilih empat mata pelajaran yang sesuai dengan cita-cita dan bakatnya. Hasilnya, sekolah-sekolah di sana masuk dalam top ranking dunia.
Selandia Baru telah menghadirkan sekolah yang lebih humanis. Pendidikan di Indonesia pun sepertinya perlu menghadirkan dua mata pelajaran wajib seperti Selandia Baru dalam kategori yang berbeda, misalnya olahraga. Ini terdorong dari fakta bahwa guru sering terjebak pada justifikasi siswa pintar-bodoh. Jangan sampai guru dengan mudahnya menilai bahwa siswa yang tidak pandai secara akademis, tapi berprestasi dalam bidang olahraga adalah siswa yang bodoh. Bermudah-mudahan menilai pintar-bodoh dalam satu sisi akademis bisa saja menjadi penyebab hilangnya bakat siswa di sisi yang lain.
Sekolah yang demokratis
Sekolah sebagai transformasi penyadaran kritis, seperti yang dikatakan Freire (tokoh pendidikan Brazil), harus membuka ruang-ruang yang inklusif, tidak menjadi menara gading yang kaya teori tetapi miskin aplikasi. Sekolah mesti bertumpu pada kenyataan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan potensi bakatnya masing-masing, tidak becermin hanya pada satu sisi kecerdasan akademis saja sebagai prasyarat kelulusan pendidikan formal.
Paradigma guru yang konservatif, yang menganggap penilaian pencapaian ketuntasan mata pelajaran dengan nilai adalah hal yang kurang lengkap. Sekolah bukan hanya untuk mendapatkan nilai yang baik, tetapi tempat pertemuan bakat-bakat yang luar biasa. Bakat, sekali lagi, mesti dilatih berkali-kali, diulang setiap saat, untuk mencapai prestasi yang optimal.
Sekolah mesti dihadirkan melalui wujud yang humanis dalam kerangka konseptual yang demokratis. Demokratisasi sekolah berarti memberikan ruang kebebasan kepada siswa untuk memilih pilihannya, tanpa ada justifikasi pintar-bodoh. Sekolah yang demokratis membuat siswa memilih pilihannya dengan bebas, guru hanya sebagai fasilitator yang menjembatani antara kondisi ideal siswa dan kondisi yang sebenarnya. Terakhir, Daniel Coyle berpesan, “Greatness isn’t born, it’s grown’’.
Bahan bacaan:
- Coyle, D. 2009. The Talent Code: Greatness isn’t born, it’s grown, Here’show. Rondom House Publishing Group
Penulis:
Andi Wahyu Irawan, M.Pd, Dosen Bimbingan dan Konseling Universitas Mulawarman.
Kontak: andiwahyuirawan(at)gmail(dot)com