Nobel Sastra 2015: Penyaluran Aspirasi Melalui Novel Kolektif

Sebagai salah satu bentuk prosa, novel adalah sebuah karya tulis yang menceritakan beberapa karakter dan kehidupan sehari-hari di sekeliling mereka. Meski ada beberapa karakter yang terlibat, novel konvensional biasanya ditulis secara naratif dan terfokus pada seorang tokoh saja serta hanya memiliki satu alur cerita tertentu.

Bagaimana jika ada banyak “tokoh utama” yang diceritakan dalam sebuah novel dengan alur ceritanya masing-masing namun masih memiliki satu kesatuan cerita? Itulah yang disebut dengan novel kolektif. Jenis prosa ini dapat ditulis oleh beberapa orang yang berkolaborasi membuat sebuah cerita atau bisa juga ditulis oleh satu orang yang mengumpulkan berbagai cerita dari para responden yang selanjutnya dinarasikan dalam bentuk novel dengan tema tertentu.

Dilihat secara pintas, cara penulisan novel kolektif ini mirip dengan pembuatan buku kumpulan cerpen. Akan tetapi, ada perbedaan mendasar di antara keduanya, yakni keterkaitan antara satu bab dengan bab yang lainnya, terutama di dalam novel kolektif, yang tidak dapat ditemui dalam kumpulan cerpen. Novel kolektif sangat menekankan hubungan antarbab dengan memberikan paragraf-paragraf koneksi di setiap akhir bab sebelum melanjutkan pada bab berikutnya.

Fungsi yang cukup menarik dari novel kolektif adalah penyaluran aspirasi dari banyak suara atau banyak orang yang dituturkan ceritanya di dalam novel tersebut yang kemudian dapat mengaduk emosi pembaca novel dan bahkan mengubah paradigma tentang suatu kebijakan. Dengan memanfaatkan fungsi novel kolektif tersebut, Svetlana Alexievich, pemenang Nobel Sastra tahun 2015 ini, merupakan salah satu representasi penulis novel kolektif yang cukup berhasil mengungkap sisi-sisi yang mendetail dari kehidupan rakyat jelata yang jarang terekspos oleh media arus utama.

Alexievich terutama mengambil latar belakang kehidupannya sebagai eks warga Uni Soviet dengan merekam berbagai kisah nyata dari responden yang diwawancari olehnya. Novel yang ditulis Alexievich, dengan demikian, sebenarnya bisa juga disebut sebagai novel dokumenter atas masa-masa kekuasaan Uni Soviet yang penuh dengan kehororan. Di saat media-media di masa itu tidak berani menyuarakan kisah-kisah horor, Alexievich justru dengan jujur mengungkap kenyataan melalui novel yang ditulisnya, tentunya dengan menyamarkan nama-nama para tokoh.

Mari kita simak sekilas beberapa judul novel Alexievich yang dianggap para kritikus sebagai karyanya yang paling monumental.

War’s Unwomanly Face (diterbitkan tahun 1985)

Dalam novel ini, Alexievich mengumpulkan kisah para wanita Rusia veteran perang yang dipaksa terlibat dalam Perang Dunia II dengan berbagai perannya. Di antara para wanita yang berhasil diwawancara Alexievich adalah tentara, penembak jitu, dokter, dan perawat. Judul novel ini cukup menyiratkan isi novel yang menggambarkan bagaimana peran wanita yang erat dengan kasih sayang justru harus terlibat dalam perang besar yang membuat para wanita tersebut mungkin tidak lagi tampak sebagai wanita.

Zinky Boys: The Record of a Lost Soviet Generation (diterbitkan tahun 1992)

Novel ini menceritakan para pemuda Rusia yang dikirim ke medan perang Uni Soviet dengan Afghanistan. Sudut pandang cerita terutama mengambil sisi dari para ibu. Judul tulisan sudah cukup menggambarkan rasa duka para ibu yang mendapati anak-anak mereka, yakni para prajurit Uni Soviet, kembali ke kampung halaman terbujur kaku dalam peti mati (zinc coffin). Perang Afghanistan memang menjadi salah satu kegagalan besar kebijakan politik Uni Soviet sesaat sebelum pecahnya negara adidaya tersebut. Novel ini menjadi peringatan secara tak langsung agar lebih baik menjaga perdamaian alih-alih menceburkan diri dalam konflik yang tak diperlukan.

Voices from Chernobyl: The Oral History of a Nuclear Disaster (diterbitkan tahun 2006)

Tanggal 26 April tahun 1986, reaktor IV pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl (saat ini masuk wilayah Ukraina) meledak dan membawa umat manusia pada salah satu bencana nuklir terburuk sepanjang sejarah. Menghadapi bencana tersebut, pemerintah Uni Soviet justru mengirim ribuan kaum pria yang tidak terlatih ke tengah-tengah area radioaktif yang sangat berbahaya. Di antara mereka ada yang ditugaskan menjadi pemadam kebakaran dan ada yang menjadi petugas kebersihan. Bersama-sama warga Chernobyl, mereka menjadi saksi ketidaksigapan pemerintah Uni Soviet menghadapi bencana tersebut. Harga nyawa manusia serasa sangat murah pada masa itu. Alexievich berhasil mewawancarai sekurangnya 500 saksi mata dan menggubah kisah mereka menjadi sebuah novel.

Potret sebuah sekolah yang ditinggalkan di Distrik Pripyat, Chernobyl.
Potret sebuah sekolah yang ditinggalkan di Distrik Pripyat, Chernobyl.

Masih banyak lagi karya novel Alexievich yang membawa genre novel kolektif. Ia sepertinya tahu benar bagaimana memanfaatkan kekuatan novel kolektif untuk menyalurkan aspirasi dan kritik secara halus dari beragam individu yang telah ditemuinya. Banyak pengamat bahkan menyebut Alexievich bukanlah seorang novelis murni, melainkan seorang sejarawan ataupun jurnalis dokumenter. Tidak salah jika panitia Nobel Sastra 2015 menyebutkan kontribusi Alexievich adalah, “her polyphonic writings, a monument to suffering and courage in our time (gaya tulisan polifon yang membawa banyak suara, sebuah monumen untuk penderitaan dan keberanian).”

Mungkin teman-teman tertarik membuat novel kolektif untuk menyalurkan aspirasi?

Bahan bacaan:

Penulis:
Art Nugraha, peneliti fisika, alumnus ITB dan Tohoku University. Kontak: art.nugraha(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top