Fisika Teoretis, Sebatang Pensil, dan Material Nanokarbon

Fisika? Teori? Mendengar dua kata ini, pikiran kita mungkin akan langsung melayang pada sebuah cabang ilmu yang sering dipandang hanya sedikit manfaatnya yang bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Konsep yang abstrak disertai rumus-rumus matematis yang membuat sakit perut adalah anggapan masyarakat umum terhadap fisika teori. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar.

Memang betul bahwa teori-teori fisika itu seringkali sulit dipahami. Untuk merumuskan sebuah teori yang konsisten, para fisikawan butuh waktu berpikir yang sangat lama dan kadang menjurus pada rasa frustasi. Akan tetapi, anggapan bahwa fisika teori secara praktis tak bermanfaat untuk kehidupan itu kurang tepat, kalau bukan keliru. Hukum-hukum alam yang coba dituliskan dalam rumusan matematis oleh para fisikawan, meski hanya tertulis dalam secarik kertas dengan bantuan sebatang pensil, tak jarang menghasilkan prediksi pemanfaatan suatu material dan energi yang bermanfaat bagi kehidupan di masa depan.

Komunitas fisikawan teoretis saat ini banyak terfokus pada dua cabang besar fisika, yaitu fisika material (condensed matter physics) dan fisika partikel. Bidang yang pertama membahas interaksi antarpartikel dalam skala nanometer hingga skala makro, misalnya bagaimana elektron-elektron berinteraksi sehingga kita bisa menentukan suatu material bersifat konduktor atau insulator. Bidang yang kedua membahas aspek yang lebih fundamental, yaitu apa dan bagaimana partikel-partikel terkecil menjadi batu bata penyusun alam semesta.

Mari kita tilik satu bagian kecil dari kontribusi fisika teori terhadap perkembangan bidang fisika material, terutama terkait dengan kelas material yang dalam dua dekade belakangan ini menjadi topik hangat, yaitu material nanokarbon (nanocarbon materials). Kita tentu tidak asing lagi dengan material karbon. Setidaknya setiap hari kita menulis dengan pensil, itu berarti kita berhadapan dengan grafit yang tersusun atas unsur karbon. Sering pula kita menikmati hidangan sate yang sedikit gosong. Warna hitam pada sate pun berasal dari karbon. Rupanya karbon ada di mana-mana!

Pertanyaannya sekarang, pernahkah kita terpikir karbon dapat menjadi penyusun utama perangkat elektronik di masa depan? Sepintas ini pertanyaan yang terdengar konyol, bukan? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita mundur dulu jauh ke belakang, tepatnya tahun 1959. Saat itu, fisikawan teoretis kenamaan asal Amerika Serikat, Richard Feynman, melontarkan pernyataannya yang legendaris,

“There’s plenty of room at the bottom.”

Pernyataan ini telah menjadi inspirasi bagi berbagai generasi fisikawan untuk mengkaji material-material pada skala nanometer yang selanjutnya memicu perkembangan nanosains dan nanoteknologi. Dengan mempelajari bagaimana partikel-partikel di dalam suatu material berinteraksi pada skala tersebut, kita dapat memanfaatkannya untuk mengambil sifat-sifat fisis luar biasa yang tidak ditemukan pada skala makro.

Secara khusus untuk material karbon sendiri, mundur lebih jauh lagi ke belakang sebelum Feynman, ada Phil Wallace yang pada tahun 1947 merumuskan teori sifat elektronik grafit. Tanpa disadari dirinya, sebenarnya ia telah memprediksi keberadaan graphene, sebuah material super berupa selembar grafit setipis 1 lapisan atom yang baru dikonfirmasi pada tahun 2004 oleh Andre Geim dan Kostya Novoselov, dua orang peraih penghargaan Nobel Fisika 2010. Sayangnya, Wallace sudah tiada sehingga tidak sempat menyaksikan kesahihan teorinya.

Sifat-sifat grafit dan graphene yang telah diprediksi teori kemudian menjadi landasan dari hipotesis adanya nanomaterial karbon lainnya dalam bentuk tabung, yang diberi nama carbon nanotube (CNT). CNT ditemukan pada 1991 oleh Sumio Iijima, meskipun saat itu keberadaan graphene belum dikonfirmasi eksperimen.

Tiga material karbon yang telah disebutkan, yaitu grafit, graphene, dan CNT membentuk kelas material tersendiri yang menempatkan karbon sebagai unsur kimia yang unik karena memiliki alotrop pada seluruh dimensi, baik itu 1D (CNT), 2D (graphene), maupun 3D (grafit). Bahkan, pada skala 0D pun ada sebuah alotrop karbon yang bernama fullerene.

Masing-masing dimensi material ini memiliki sifat-sifat elektronik yang menarik. Grafit adalah semimetal dan bersifat sebagai konduktor (meski konduktivitasnya cukup buruk). Graphene juga semimetal, tetapi lebih mengarah kepada aplikasi semikonduktor. CNT di satu sisi dapat bersifat sebagai semikonduktor dan di sisi lain dapat menjadi konduktor bergantung pada struktur geometrinya.

Ragam struktur CNT: zigzag, chiral, dan armchair. Arah penggulungan lembaran graphene menjadi CNT akan menentukan struktur ini. Masing-masing kategori dapat menjadi semikonduktor ataupun konduktor, kecuali armchair CNT yang secara teoretis bersifat konduktor. Dengan mengatur bentuk CNT, kita memiliki kebebasan dalam merancang perangkat elektronik yang sesuai dengan keperluan. Hal ini menjadi salah satu keunggulan material karbon dibandingkan silikon yang masih menjadi elemen utama perangkat elektronik masa kini.

Fleksibilitas material karbon menjadikannya kandidat yang potensial sebagai elemen perangkat elektronik masa depan. Saat ini silikon masih menjadi material utama yang menyusun hampir seluruh perangkat elektronik yang kita miliki. Dengan sifat-sifat elektronik yang unggul dari material karbon pada ukuran  yang sama dengan silikon, pihak industri mulai mempertimbangkan penggunaan karbon sebagai basis perangkat elektronik.

Proses alih teknologi silikon ke teknologi karbon tentunya tidak bisa berlangsung serta merta. Dibutuhkan proses bertahap yang juga mencakup bermacam pertimbangan seperti fabrikasi, karakterisasi material, hingga desain perangkat elektronik. Menariknya, proses yang sangat “eksperimentalis” seperti karakterisasi material pun membutuhkan dukungan yang cukup dari fisika teori.

Sebagai contoh, teknik karakterisasi material yang sering digunakan adalah spektroskopi Raman. Dalam spektroskopi ini, data yang dihasilkan adalah sejumlah puncak spektrum yang terkait dengan struktur CNT tertentu serta sifatnya apakah konduktor atau semikonduktor. Pengetahuan ini diperoleh tidak lain dari fisika teori yang memprediksi kaitan antara spektroskopi Raman dengan struktur/sifat CNT.

Dengan demikian, fisika teori yang diterapkan dalam riset material telah menjadi suatu alat yang sangat berguna untuk memprediksi serta menjelaskan sifat-sifat material yang dikonfirmasi dalam eksperimen. Penemuan CNT serta graphene yang dirangsang oleh hipotesis sifat elektronik karbon pada struktur nanometer 1D dan 2D telah menjadi sinyal untuk mewujudkan perangkat elektronik berbasis karbon. Oleh karena itu, dari sebatang pensil dan secarik kertas, kita akan terus melihat dan memandang ke depan demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik.

Bahan bacaan:

Penulis:
Ahmad Ridwan T. Nugraha, peneliti fisika, alumnus ITB dan Tohoku University.
Kontak: art.nugraha(at)gmail(dot)com.

Back To Top