Meluruskan Kembali Makna Pintar

Masih ingat kisah heroik 3 siswa SMP di Bogor menggagalkan upaya pemerkosaan di daerahnya pada bulan Mei 2013? Andai masih hidup, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso pasti merasa bangga menyaksikan aksi heroik 3 siswa SMP tersebut. Beliau yang terkenal jujur selama hidupnya itu pernah berujar, “Jadi orang penting itu baik. Tapi yang jauh lebih penting adalah menjadi orang baik”.

Aziz (15), Abdulrahman Assegaf (13), Ilham (13) tak punya posisi penting apapun. Mereka berani ambil risiko untuk menyelamatkan korban pemerkosaan. Alih-alih menerima uang suap dari pelaku untuk berdamai, mereka tolak mentah-mentah uang suap dan langsung menggelandang pelaku ke pihak berwenang. Kalau bukan karena nurani dan setia pada kebaikan, mustahil mereka ambil pilihan itu. Sikap hebat yang mestinya dilakukan orang-orang penting di negeri ini.

Apresiasi membanjiri mereka. Beberapa lembaga, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kemdikbud, dan Kemenag bahkan memberikan beasiswa dan laptop. Mereka dielu-elukan sebagai sosok pahlawan. Jika ketiga anak muda ini diberi banyak penghargaan, itulah apresiasi, tak ada yang salah dengan situasi ini.

Kesalahan baru terjadi ketika inspirasi ini tak dikelola agar merangsang anak muda lain untuk melakukan hal serupa. Sudah seharusnya, inspirasi seperti ini disistematisasi dan dilembagakan melalui kerja pendidikan di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Mengapa demikian? Karena inilah tujuan pendidikan yang hakiki, melahirkan manusia cerdas bernalar dan berbudi pekerti. Tak boleh salah satunya, harus kedua-duanya, cerdas dan berakhlak mulia. Pendidikan yang menyeluruh, tak boleh ada kompromi!

Layakkah Aziz, Abdulrahman Assegaf, dan Ilham digelari anak pintar? Mudah dipahami jika kita agak ragu untuk menyepakati bahwa mereka anak pintar karena pintar ini cenderung menjadi milik orang-orang tertentu. Orang pintar itu juara kelas. Orang pintar itu juara olimpiade matematika dan sains.

Anak pintar sering dimaknai sempit hanya dalam lingkup prestasi akademis atau keaktifan di kelas.
Anak pintar sering dimaknai sempit hanya dalam lingkup prestasi akademis atau keaktifan di kelas.

Mungkin tak ada yang keliru dengan gelar juara untuk definisi anak pintar seperti yang kita kenal selama ini. Namun jika demikian, di manakah ruang bagi anak-anak seperti Aziz, Assegaf, dan Ilham mendapat apresiasi tulus sebagai anak baik yang punya karakter kuat mau bermanfaat bagi sesama? Tak sekadar menjadi juara bagi diri sendiri, tetapi juga bersedia berbuat baik untuk sesama.

Orang tua mati-matian menyekolahkan dan mengikutkan anaknya ke les privat agar menjadi anak pintar. Guru mengelu-elukan anak pintar habis-habisan. Sekolah pun memberi beasiswa hanya untuk anak pintar. Kita kemudian tak pernah kritis, untuk apa anak pintar dilahirkan?  Apakah anak pintar ini hebat untuk dirinya sendiri atau bersedia membagi kepintarannya agar bermanfaat bagi banyak orang?

Pintar, makna katanya menjadi sangat sempit, khusus digelari bagi individu-individu yang encer otaknya saja. Soal budi pekertinya, itu persoalan lain, terkesan tak ada hubungan sama sekali. Tak terintegrasi, itu kata lainnya. Andai kisah 3 siswa SMP tersebut tak diekspos media, mungkinkah ketiga anak muda ini mendapat perhatian publik? Penulis selalu merasa khawatir, kisah heroik seperti ini mudah dilupakan. Bahkan bisa jadi sebenarnya banyak sekali kisah-kisah serupa yang tidak terangkat ke permukaan. Jadi label anak pintar di sini pun pantas disematkan pada mereka.

Institusi keluarga, sekolah, dan masyarakat hendaknya segera tergerak untuk merancang sistem untuk melahirkan anak-anak pintar semacam Aziz, Abdulrahman, dan Ilham. Dengan demikian, anak-anak semacam mereka tidak hanya terlahir dari suatu “kebetulan” yang diperoleh karena sifat dasar mereka yang baik. Akan tetapi, anak-anak semacam ini seharusnya bisa terlahir melalui proses pendidikan yang sistematis.

Kita harus segera mengubah cara pandang tentang sosok anak pintar. Pintar itu bukan juara kelas saja, pintar itu bukan nilai matematika 9 di rapor, pintar itu bukan semata bisa jadi juara olimpiade. Pintar itu seharusnya berfokus pada kualitas nilai manfaat diri sendiri untuk orang lain, bukan simbol-simbol semu (angka, prestise) yang merangsang keangkuhan dan tak melahirkan kebaikan dari si empunya kepintaran untuk banyak orang. Semakin pintar, semakin banyak manfaat bagi sesama. Bukan sebaliknya, semakin pintar tapi semakin “ngakali” orang lain. Sadarilah hal ini sejak dini.

Mari berikan ruang apresiasi bagi murid yang punya inisiatif untuk bersikap jujur, selalu tepat waktu masuk kelas dan mengerjakan tugas, dan segenap perilaku baik yang kadung selalu disepelekan. Praktikkan sikap tegas bagi para pelaku kecurangan dan tak disiplin di sekolah agar ada efek jera. Kepala sekolah, guru, dan orangtua musti kompak memberikan keteladanan.

Mari cermati secara seksama, berapa banyak sekolah yang memberikan penghargaan bagi anak jujur, anak disiplin, anak pekerja keras, dan anak yang punya karakter lainnya? Nol besar. Sebaliknya, hadiah istimewa selalu tertuju untuk anak juara kelas, juara olimpiade matematika, juara olimpiade sains, dan juara-juara yang mampu tunjukkan kehebatan kapasitas otak mereka.

Para juara ini selalu dielu-elukan karena menjadi kebanggaan orangtua, guru, dan sekolah. Spanduk dan baliho besar terpampang jelas di depan gedung sekolah, “Selamat atas sukses menjadi juara…” Sekali lagi, tak ada yang salah dengan semua itu. Namun perlu diingat, ketika ada sebagian orang pintar yang tega berbuat korupsi dan manipulasi, bolehlah kita merenung sejenak, untuk apa orang pintar macam ini? Jangan sampai dunia pendidikan nasional melahirkan orang-orang pintar yang tak paham untuk apa dan untuk siapa kepintarannya.

Alih-alih menghargai perilaku baik, di sekolah kita sering terjadi murid malah tak dicegah untuk mencontek dan berbuat curang. Disiplin untuk tak disiplin malah dibudayakan. Ujung-ujungnya sistem persekolahan ikut menghancurkan karakter anak-anak bangsa. Yang memilukan, jangan-jangan hal ini bukan tanpa disadari dilakukan, tapi direkayasa oleh pihak yang menghendaki sistem sekolah mandul untuk melahirkan anak-anak pintar nan berkarakter.

Pintar oh pintar, pilu hati ini karena maknamu telah direduksi oleh pihak-pihak yang “merasa pintar”. Orang pintar haruslah terlahir dari sistem pendidikan yang memiliki niat penuh kebaikan, dikelola dan berproses dengan semangat nilai-nilai kebaikan, dan melahirkan orang-orang baik yang menebarkan kebaikan untuk segenap makhluk di muka bumi ini.

“Adalah kebaikan ketika kita menjadi orang pintar. Tapi kepintaran sejati adalah ketika kita menjadi orang baik,” terkenang selalu pesan dari guru kehidupan penulis.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Republika Online, 27 Mei 2013, dan dimuat kembali di majalah 1000guru dengan izin penulis disertai beberapa perubahan.

Penulis:
Asep Sapa’at, praktisi Pendidikan, direktur Sekolah Guru Indonesia.
Kontak: syafaat_makmalian(at)yahoo(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top