Penyesuaian Remaja Hidup Bersama Penderita Gangguan Jiwa

Masalah-masalah pribadi dan sosial dalam kehidupan seseorang semakin bertambah seiring kemajuan zaman. Berbagai masalah muncul karena ketidakserasian antara harapan dan realitas. Masalah-masalah inidapat memicu konflik, kekecewaan dan stres. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan keadaan akan menjadikan hidup semakin rumit dan jauh dari harapan.

Lingkungan yang sangat rentan dengan masalah adalah lingkungan keluarga karena dari sana seorang individu lahir, berkembang, dan memahami kehidupan.Salah satu masalah keluarga yang dapat menjadi stresor (pembawa stres) bagi anggotanya adalah ketika realitas keluarga yang ada tidak sesuai dengan kondisi ideal yang diharapkan oleh anggota keluarga. Situasi seperti itu menghasilkan ketidaksesuaian diri dengan lingkungan yang dialami oleh anggota keluarga tersebut.

Anggota keluarga yang rawan mengalami stres terutama adalah yang berusia remaja. Usia remaja merupakan masa yang paling bergejolak dalam sepanjang rentang kehidupan manusia. Masa remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju masa dewasa. Individu dalam masa ini dihadapkan pada berbagai tuntutan dan tugas perkembangan. Tuntutan dan tugas perkembangan tersebut muncul karena adanya perubahan yang terjadi pada beberapa aspek fungsional individu, yaitu fisik, psikologis, dan sosial.

Remaja perlu melakukan penyesuaian diri dalam menghadapi masa peralihan dirinya. Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah keterampilan sosial untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima kritik, hingga bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku.

Jika keterampilan sosial dapat dikuasai oleh seorang remaja pada fase tersebut, ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini berarti pula bahwa remaja tersebut mampu mengembangkan aspek psikososial dengan maksimal.

Bagaimana jika ada anggota keluarga dengan gangguan jiwa?

Menurut pandangan masyarakat, jika dalam sebuah keluarga ada anggotanya yang menderita gangguan jiwa, masyarakat cenderung menganggap keluarga tersebut adalah keluarga yang “gila” dan abnormal seluruhnya. Jadi, bukan hanya si penderita gangguan saja yang dianggap “gila”. Remaja yang dilahirkan di tengah keluarga yang anggota keluarganya menderita gangguan jiwa dengan demikian membutuhkan penyesuaian diri “lebih” daripada remaja yang lahir di tengah keluarga kebanyakan (normal/sehat).

Selain itu, keberadaan anggota keluarga dengan gangguan jiwa tentu sangat mempengaruhi kondisi fisik dan mental orang yang merawatnya di rumah, misalnya orang tua, suami/istri, atau saudaranya. Keluarga dan perawat di rumah seringkali mengalami tekanan mental karena gejala yang ditampilkan penderita. Tekanan yang dirasakan keluarga akan semakin berat. Mereka akan bingung bagaimana hidup bersama dengan penderita gangguan jiwa yang sangat mengganggu kehidupan sehari-hari.

Keadaan inilah yang menuntut remaja agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan jiwa atau mental individu. Banyak individu  yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri, baik dengan kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya.

Tidak jarang pula, orang-orang mengalami stres dan depresi karena kegagalan mereka dalam melakukan penyesuaian diri dengan kondisi yang penuh tekanan. Remaja yang berhasil menyesuaikan diri akan dapat memasuki tahap perkembangan selanjutnya dengan baik.Sebaliknya, remaja yang kurang berhasil dalam menyesuaikan diri akan mengalami hambatan pula dalam memasuki tahapan perkembangan berikutnya.

Penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Dengan penyesuaian diri, manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan dengan lingkungannya. Penerimaan diri dalam hal ini memiliki peranan yang sangat penting dalam proses penyesuaian diri individu.

Semakin individu mampu menerima apa yang ada dalam dirinya, maka dalam menghadapi lingkungannya individu tersebut mampu menyesuaikan diri secara positif. Penyesuaian diri dilakukan dengan mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan. Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan, dan lingkungan alam sekitarnya.

Penyesuaian pribadi

Pada dasarnya, penyesuaian diri memiliki dua aspek, yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya, dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut.

Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung jawab, dongkol, kecewa,  atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya guncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa tidak puas, rasa kurang, dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.

Sebaliknya, kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya. Ini merupakan akibat adanya kesenjangan antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Kesenjangan inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan kecemasan sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian diri.

Penyesuaian sosial

Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling  mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari.

Dalam ilmu psikologi, proses ini dikenal dengan penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum. Dalam hal ini, individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas.

Individu menyerap berbagai informasi, budaya, dan adat istiadat yang ada, sementara  komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang individu. Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam proses interaksi dengan masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik.

Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok.  Dalam proses penyesuaian sosial, individu berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.

Kedua aspek penyesuaian diri (pribadi dan sosial) merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses penyesuaian diri berfungsi seperti pengawas yang mengatur kejiwaan. Boleh jadi, hal inilah yang dikatakan Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha mengendalikan kehidupan individu dari segi penerimaan dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.

Gangguan jiwa, keluarga, dan kehidupan sosial

Tidak semua gangguan jiwa terkait langsung dengan kehidupan sosial. Gangguan jiwa yang menjadi masalah bagi seorang remaja yang memiliki anggota keluarga seperti itu terutama adalah gangguan jiwa yang tampak jelas perilaku “gila”-nya di hadapan masyarakat, seperti skizofrenia dan bipolar disorder. Penderita gangguan ini kerap memberikan reaksi yang salah dalam bermasyarakat (maladaptasi) dan karenanya timbul disorganisasi kepribadian sehingga penderita lama-lama menjauhkan diri dari kenyataan.

Keluarga adalah suatu hubungan yang tidak terputus yang di dalamnya terdapat intergenerasi (minimal dua generasi, yaitu generasi orangtua dan anak). Di dalam sebuah keluarga, antara anggotanya mempunyai hubungan biologis atau affinal (terikat dengan hukum/aturan). Mempunyai anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa (yang terkait kehidupan sosial) memang bukanlah hal mudah. Namun, sebenarnya dengan bantuan seluruh keluarga, penderita gangguan jiwa tersebut bisa sembuh.

Penderita gangguan jiwa sangat membutuhkan dukungan keluarganya. Mereka harus sabar menerima kenyataan jika gangguan tersebut sulit sembuh.Hal yang sering menjadi masalah adalah banyak keluarga yang belum mengerti benar mengenai gangguan jiwa.

Ketidakmengertian terhadap gangguan jiwa sering melahirkan jalan pintas. Kebanyakan keluarga yang memiliki anggota dengan gangguan jiwa langsung mengisolasi, memasung. Padahal, tidak jarang gangguan tersebut bisa dikendalikan. Dengan kemauan diri yang keras dan dukungan keluarga, penderitanya bisa hidup normal. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat penyembuh yang sangat berarti bagi penderita gangguan jiwa.

Menerima kenyataan adalah kunci utama proses penyembuhan atau pengendalian gangguan jiwa. Keluarga harus bersikap menerima, tetap berkomunikasi, dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, bentakan, atau mengucilkan malah akan membuat penderita semakin depresi bahkan memperparah keadaannya. Namun, terlalu memanjakan juga tentu tidak baik.

Keluarga harus membantu menumbuhkan sikap mandiri dalam diri si penderita. Jika penderita harus masuk ke rumah sakit jiwa, setelah proses perawatan di rumah sakit pun para dokter pada akhirnya akan berupaya mengembalikan penderita pada lingkungan keluarga. Penerimaan kembali oleh keluarga sangat besar artinya bagi penderita gangguan jiwa.

Penerimaan: kunci penting hidup bersama penderita gangguan jiwa.
Penerimaan: kunci penting hidup bersama penderita gangguan jiwa.

Dalam keadaan kronis, penderita gangguan jiwa akan mengalami penurunan kemampuan dalam fungsi sehari-hari. Penderita akan menarik diri dari kehidupan sosial dan hidup dalam dunianya sendiri. Dampak lanjut penyakit ini bervariasi tergantung faktor-faktor kepribadian dan lingkungan. Aspek yang mempengaruhi kondisi (kualitas hidup) penderita gangguan jiwa adalah kekambuhan. Untuk mencegah kekambuhan ini perlu pengertian dari keluarga terdekatnya.

Bagi remaja yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa, kondisi lingkungan yang mengharuskannya hidup dengan penderita memang membutuhkan penyesuaian diri yang tidak mudah. Dengan kondisi tersebut, tidak jarang individu (remaja) mengalami masalah dan kebingungan, termasuk dalam hal berinteraksi dengan penderita yang notabene saudaranya sendiri.

Oleh karena itu, kemampuan penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang telah dijelaskan di atas perlu diasah agar remaja dengan keluarga yang mengalami gangguan jiwa bisa menjalani kehidupan dengan normal. Kegagalan mengasah kemampuan penyesuaian diri pada masa remaja dapat berdampak kegagalan permanen bagi dirinya di masa dewasa dan masa tua.

Bahan bacaan:

Penulis:
Retno Ninggalih, ibu rumah tangga, alumnus Fakultas Psikologi Undip, saat ini bertempat tinggal di Sendai, Jepang.
Kontak: r.ninggalih(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top