Wabah Flu: Demonstrasi Kekuatan Internet Menghadapi Pandemi

Wabah flu H1N1 bukan wabah influenza pertama yang dialami manusia. Tahun 1918 terjadi pandemi flu Spanyol yang jumlah korbannya diperkirakan mencapai 40 juta jiwa, melebihi jumlah korban Perang Dunia I. Tahun 1957 dan 1968 kembali terjadi pandemi flu yang menyebabkan kira-kira 1 juta dan 750 ribu jiwa menjadi korban.

Kini, dengan ancaman pandemi flu babi tampak sangat dekat, pertanyaan yang ada di benak setiap orang adalah seberapa parahkah ancaman yang dimiliki virus H1N1 ini? Belum ada yang tahu jawaban pastinya. Virus ini sudah ditemukan di 40 negara dengan total 9830 kasus dan 79 korban jiwa. WHO sendiri belum menurunkan fase siaga pandemiknya, tetap pada level 5.

Bagaimana ini semua seharusnya bisa dicegah?

Cara terbaik menangani pandemi adalah deteksi dan respons dini, dengan menangkalnya sebelum dimulai. Pandemi dapat timbul karena adanya patogen penyebab penyakit yang mudah ditularkan dari manusia ke manusia. Harus diingat bahwa semua itu berawal hanya dari satu atau beberapa orang saja. Orang-orang inilah yang kemudian menularkan penyakitnya ke orang di sekitarnya.

Secara kasar, jumlah yang tertular bisa meningkat sangat cepat, misalnya satu orang menularkan ke lima orang, yang kemudian menularkan ke 25 orang, lalu ke 125 orang, dan seterusnya. Jika jalur penularan dari orang pertama atau kedua dapat diputus, tentu orang-orang lainnya tidak akan tertular. Masalahnya adalah deteksi dini ini sulit dilakukan.

Penderita pada awalnya harus menyadari bahwa dia perlu ke dokter untuk diperiksa, apakah betul dia terinfeksi patogen. Dokter yang mendiagnosis penyakit di lapangan harus dapat melakukannya dengan tepat. Sistem pelaporan ke lembaga kesehatan dan respons yang dilakukannya juga harus jelas: di mana pasien harus dirawat, obat apa yang diberikan, berapa lama pengawasan dokter, dan sebagainya.

Keadaan ini menuntut adanya sistem kesehatan publik yang baik dari level ibukota sampai daerah paling terpencil karena kemunculan kasus penyakit tidak pandang bulu. Ia bisa muncul di tengah pedesaan di Purwakarta, di tengah pasar di Guangzhou, atau di sebuah rumah sakit di Los Angeles. Kadang-kadang, masalah politik pun bisa memperkeruh situasi. Misalnya, Cina yang sempat terkesan tertutup untuk bekerja sama dengan WHO dan terlambat melaporkan adanya wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) karena Coronavirus pada tahun 2002.

Peran Pribadi dan Massa

Kita beruntung hidup di era internet yang ditandai dengan keterbukaan. Pengalaman pahit pandemi–pandemi di masa lalu membuat kita sadar bahwa ancaman pandemi adalah ancaman bagi seluruh umat manusia. Sungguh suatu hal yang tepat jika pengembangan sistem pencegahannya pun melibatkan semua orang, yang kini dimungkinkan dengan adanya internet.

Sistem pertama yang ingin disoroti di sini adalah Global Public Health Intelligence Network (GPHIN). Cara kerjanya adalah mencari berita-berita di berbagai situs dengan berbagai bahasa (crawling) tentang adanya outbreak atau peningkatan jumlah penyakit tertentu di seluruh dunia. Cara ini ternyata terbukti cukup efektif karena GPHIN berhasil mendeteksi adanya kemungkinan outbreak oleh SARS pada November 2002 dari data berita situs berbahasa Cina.

Pada bulan Januari 2003, GPHIN memunculkan prediksi yang sama dari hasil crawling situs berbahasa Inggris. Ini lebih cepat dari laporan resmi WHO yang mengatakan bahwa SARS diidentifikasi pertama kali di Vietnam pada Februari 2003. GPHIN juga berhasil mendeteksi kemunculan virus flu burung H5N1 di Iran pada September 2005, lima bulan sebelum pemerintah Iran mengonfirmasi adanya virus tersebut di negaranya. Sayangnya, penggunaan sistem ini dipungut biaya sehingga sulit diakses semua orang. Hingga kini pun belum ada informasi yang menunjukkan hasil prediksi sistem ini seputar wabah flu babi.

Sistem lain yang kini sedang dikembangkan adalah Google Flu Trends (GFT). Ini adalah sistem pengawasan outbreak influenza yang didasarkan pada data search engine Google. GFT dikembangkan oleh Google sendiri melalui Google.org, bagian filantropi dari perusahaan mesin pencari itu dan bisa diakses https://www.google.org/flutrends/ mulai November 2008.

Prinsipnya adalah bahwa ketika terjadi outbreak, akan lebih banyak orang–orang yang menggunakan Google untuk mencari info seputar flu di internet. Dengan menggunakan data jumlah pencarian tersebut dan mengkorelasikannya dengan lokasi si pencari, GFT akan memperkirakan apakah di daerah tersebut sedang terjadi outbreak.

Berbeda dengan GPHIN, sistem GFT masih dalam tahap eksperimen. Namun, hasil yang diperoleh sejauh ini cukup menjanjikan. Prediksi GFT sesuai dengan laporan lapangan asli yang diterima oleh CDC, badan penanganan penyakit pemerintah Amerika Serikat, tetapi muncul dalam waktu hingga dua minggu lebih cepat. Sistem ini pun sekarang digunakan untuk mengawasi perkembangan flu babi di Meksiko.

Perbandingan prediksi GFT (biru) dan data CDC (kuning) Gambar diambil dari CDC dan Google.org
Perbandingan prediksi GFT (biru) dan data CDC (kuning). Gambar diambil dari CDC dan Google.org

Basis teknologi serupa GFT, yaitu agregasi berbagai sumber berita, juga digunakan situs healthmap.org. Bedanya, situs ini tidak hanya memonitor influenza di daerah tertentu saja, tapi juga penyakit lain seperti demam dengue dan meningitis. Kita sendiri, secara personal, dapat berperan mengawasi dan melaporkan perkembangan yang terjadi di seputar kita. Melalui sistem blogging seperti Blogger dan WordPress kita bisa menjadi jurnalis independen yang melakukan investigasi tanpa batas sensor.

Bagi para pengguna Twitter, selain terus melaporkan apa yang terjadi, kita juga bisa menerima update real-time mengenai perkembangan situasi di lapangan dengan mem-follow tweet dari WHO, CDC, dan healthmap.org. Bagi yang lebih suka menggunakan email, dapat men-setup alert di Google sehingga semua hasil pencarian berita oleh Google mengenai satu penyakit tertentu akan dikirimkan via email ke inbox kita sesuai keinginan.

Semua kondisi ini berbeda dengan apa yang dialami dunia pada pandemi flu 1918, 1957, dan 1968. Walaupun laju penularan bisa dipercepat dengan transportasi udara, laju informasi bisa jauh lebih dipercepat lagi dengan internet. Semoga ini pun pada akhirnya menghasilkan akhir cerita yang berbeda pula: bahwa pandemi berhasil diatasi dengan jumlah korban sekecil mungkin.

Pembaca yang berminat bisa melihat video Larry Brilliant di TED 2006 (tautan: http://www.ted.com/talks/larry_brilliant_wants_to_stop_pandemics) mengenai keinginannya mencegah pandemi dengan mengembangkan sistem deteksi dini di internet. Beliau adalah salah satu figur kunci pemberantasan penyakit cacar (smallpox) dari dunia pada tahun 1979 dan kini adalah Direktur Eksekutif Google.org.

Catatan: Artikel ini disadur ulang dari http://netsains.net/ dengan beberapa perubahan oleh editor 1000guru atas seizin penulis.

Penulis:
Wibowo Arindrarto, peneliti di Leids Universitair Medisch Centrum, Belanda.
Kontak: bow(at)bow(dot)web(dot)id

Back To Top