Fenomena Tsunami
Tsunami digolongkan sebagai salah satu jenis gelombang air dangkal atau dalam istilah ilmiahnya (bahasa Inggris) disebut sebagai shallow water wave. Karakteristik gelombang air dangkal ini adalah panjang gelombangnya jauh melebihi kedalaman air. Sebagai contoh, panjang gelombang air pada peristiwa tsunami di Aceh tahun 2004 mencapai lebih dari 100 km, sedangkan jika menilik kedalaman samudra Hindia, tempat terjadinya tsunami, kedalaman air samudra Hindia rata-rata hanya 3 km, jauh lebih pendek dari panjang gelombang air pada saat tsunami terjadi.
Kecepatan gelombang air dangkal ini ditentukan oleh kedalaman dan percepatan gravitasi di suatu tempat. Lebih tepatnya akar dari perkalian antara kedalaman dan percepatan gravitasi. Dengan mengetahui kedalaman samudera Hindia dan percepatan gravitasi, maka kita bisa melakukan perkiraan kecepatan gelombang Tsunami merambat pada kejadian tahun 2004 lalu. Untuk gelombang yang mengarah ke India, kecepatannya mencapai 620 km/jam sedangkan gelombang yang mengarah ke Thailand mempunyai kecepatan 350 km/jam. Sebagai perbandingan, kecepatan pesawat jet adalah 800 km/jam. Di sini kecepatan yang dimaksud adalah kecepatan berpindahnya puncak gelombang tsunami.
Mini-tsunami: Tsunami pada temperatur rendah
Banyak pemodelan dan eksperimen yang telah dilakukan untuk mengamati fenomena tsunami ini. Tentunya eksperimen yang dilakukan adalah dengan mengubah skala menjadi lebih kecil sehingga dapat diamati pada sebuah laboratorium. Para fisikawan sangat akrab dengan mengubah skala besar menjadi suatu skala yang lebih kecil yang bertujuan untuk membuat pemodelan dan pengamatan lebih detail. Nah, bisakah kita mengamati sebuah fenomena tsunami pada sebuah ruang kecil dengan volume tidak lebih besar daripada 4,2 ml? Jawabannya adalah bisa.
Kita bisa mengamati fenomena yang serupa dengan tsunami pada superfluida helium-4. Superfluida adalah kondisi pada saat suatu fluida, dalam hal ini helium-4, mengalir tanpa hambatan. Serupa dengan pemikiran superkonduktor, bahwa suatu material dapat mengalirkan listrik tanpa ada hambatan. Pada fase “super” ini, hambatan bukan sangat kecil melainkan nol karena superfluida tidak memiliki viskositas atau kekentalan. Superfluida dicapai pada suhu 2,17 kelvin dan tekanan standar atmosfer. Nilai temperatur ini sering dinamakan temperatur lambda (λ) karena bentuk grafik kapasitas panas fungsi temperatur memiliki bentuk serupa huruf lambda. Pada temperatur 2,17 kelvin, kapasitas panas mengalami diskontinuitas, seperti yang dialami oleh gas ideal pada fenomena yang disebut sebagai kondensasi Bose-Einstein.
Diskontinuitas pada grafik kapasitas panas menunjukkan adanya transisi fase dari fluida normal menjadi superfluida. Superfluida sering juga disebut dengan fluida kuantum (quantum fluid) karena sifat kuantum menjadi sifat yang utama dalam mempelajari fluida pada temperatur rendah. Panjang gelombang de Broglie berbanding terbalik dengan temperatur sehingga pada temperatur rendah gelombang de Broglie menjadi lebih panjang daripada dimensi atom helium. Oleh karena itu terjadilah superposisi antara gelombang de Broglie dari sejumlah atom helium. Inilah alasannya, kita tidak bisa lagi mempelajari helium secara klasik melainkan dengan fisika kuantum.
Pada tahun 1938, Tisza mengeluarkan postulat bahwa pada fase superfluida terdapat dua komponen utama, yaitu komponen fluida normal dan komponen superfluida itu sendiri. Postulat ini dikenal dengan nama two-fluid model. Komponen fluida normal bertugas membawa semua eksitasi termal dan juga masih bersifat memiliki hambatan. Pada temperatur mendekati temperatur absolut (nol kelvin), fase superfluida didominasi oleh komponen superfluida, sedangkan komponen fluida normal akan berkurang jumlahnya. Kedua komponen tersebut sangat dinamis pergerakannya, sehingga superfluida dapat memiliki berbagai macam modus rambatnya.
Apabila komponen fluida normal tidak bergerak karena “terkunci” pada substrat, sedangkan komponen superfluida bergerak, maka modus ini dinamakan third sound mode. Ciri modus ini yaitu gerakan fluida secara lateral. Gerakan pada sumbu-x dan y mendominasi gerakan pada sumbu-z sehingga terjadi fluktuasi temperatur karena komponen superfluida tidak membawa eksitasi panas. Komponen superfluida berkumpul di puncak gelombang sehingga di posisi ini temperatur lebih dingin daripada di lembah. Panjang gelombang modus ini juga jauh lebih panjang daripada kedalaman superfluida. Biasanya panjang gelombangnya adalah 1 cm sedangkan kedalaman atau ketebalan lapisan superfluida adalah 3 nm. Ketinggian modus ini sekitar 10 pikometer. Tinggi gelombang tersebut jauh lebih besar daripada kedalaman fluida, sehingga third sound mode dikategorikan sebagai gelombang air dangkal. Akan tetapi, dimensi atau skalanya lebih kecil daripada tsunami, sehingga bisa kita katakan sebagai mini-tsunami.
Kecepatan gelombang pada third sound mode ini juga bisa dirumuskan sebagai akar dari perkalian antara percepatan dan ketebalan lapisan superfluida, serupa dengan persamaan gelombang tsunami. Namun demikian, percepatan yang kita gunakan sekarang bukanlah percepatan gravitasi. Karena ketebalan yang sangat tipis, maka percepatan Van der Waals mendominasi percepatan gravitasi. Pada gelombang air, gaya gravitasi berperan sebagai gaya pemulih partikel yang berosilasi. Sedangkan pada third sound mode, gaya pemulih ini diambil alih oleh gaya Van der Waals yang bekerja pada atom helium dan substrat. Percepatan Van der Waals ini tidak sesederhana percepatan gravitasi. Percepatan Van der Waals ini juga bergantung pada ketebalan lapisan superfluida, sehingga kecepatan third sound mode tidak lagi sebanding dengan akar ketebalan atau kedalaman fluida. Biasanya kecepatannya sebesar 10 meter/detik, atau 36 km/jam.
Aplikasi fenomena mini tsunami dalam fisika
Mini-tsunami atau third sound mode ini tidak ditujukan untuk mengamati fenomena tsunami pada skala yang sangat kecil. Third sound mode pada superfluida ini berguna pada penelitian bidang temperatur rendah khususnya memahami fenomena vorteks (gerakan fluida yang berputar) pada superfluida. Selain itu, pemahaman pada jenis gelombang ini dapat memperkuat pengetahuan kondensasi Bose-Einstein pada sistem interaksi antar atom yang kuat. Terakhir, pada penelitian yang dilakukan penulis, saat ini sedang dikaji upaya penguatan energi third sound mode dengan kondensasi atom helium, serupa dengan prinsip laser.
Bahan bacaan:
- H. Segur, artikel dalam buku Tsunami and Nonlinear Waves. Editor: A. Kundu, Springer (2007).
- D. R. Tilley dan J. Tilley, Superfluidity and Superconductivity, Hilger Publisher (1990).
- http://www.physics.berkeley.edu/research/packard/
- http://fellis.web.wesleyan.edu/research/q_f_lab.html
Penulis:
Yudhiakto Pramudya, dosen fisika di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, meraih doktor dalam bidang fisika temperatur rendah dari Wesleyan University, Amerika Serikat. Kontak: yudhirek(at)gmail(dot)com.