Multiple Sclerosis: Penyakit Misterius dengan Seribu Wajah

Multiple sclerosis (MS) merupakan salah satu jenis penyakit autoimun, yaitu penyakit yang terjadi ketika kekebalan dalam tubuh justru menyerang dirinya sendiri. Dokter memerlukan proses yang cukup panjang untuk menegakkan diagnosis MS. Penyintas MS dapat tampak sehat, masih dapat berjalan sempurna, tetapi ada juga yang membutuhkan tongkat untuk berjalan, atau duduk di kursi roda. Kesulitan dalam menggerakkan anggota tubuh secara normal tidak terlihat di permukaan, oleh karena itu MS dapat menyebabkan invisible disability atau disabilitas yang tidak tampak.

Gejala MS berbeda di tiap individu penyintas MS. Kita mungkin masih ingat presenter acara televisi terkenal di tanah air, Pepeng (Ferrasta Soebardi), yang merupakan salah seorang penyintas MS. Almarhum Pepeng terdiagnosis MS pada tahun 2005 setelah pemeriksaan lanjut dari gejala pegal-pegal yang tak kunjung hilang. Kisah Pepeng ini sedikit banyak memperkenalkan MS ke publik Indonesia.

Almarhum Pepeng. Sumber gambar: CNN Indonesia.

Baru-baru ini pula, Selma Blair, seorang aktris Hollywood terkenal, mengungkapkan bahwa dirinya terdiagnosis MS pada tanggal 16 Agustus 2018. Blair sebenarnya telah merasakan kesemutan dan kebas selama belasan tahun lamanya. Selain itu, Blair juga cepat merasa lelah, mudah terjatuh dan menjatuhkan barang-barang yang dipegang. Setelah berkonsultasi dengan dokter ahli saraf (neurologis) dan pemeriksaan melalui tes MRI, diagnosis MS terhadap dirinya pun ditegakkan. Media mengapresiasi penampilan Selma Blair yang memakai tongkat di Oscar 2019, sebagai usaha untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap MS dan penyintas MS.

Dalam kehidupan sehari-hari, MS benar-benar penyakit yang bisa terjadi di dekat kita. Sejauh ini, jumlah perempuan yang terdiagnosis MS terbilang lebih tinggi dibandingkan lelaki. MS rentan terjadi pada usia produktif, yakni awal 20-an tahun hingga sekitar 50 tahun. Dalam beberapa kasus, ada juga anak berusia menjelang dan awal belasan yang terdiagnosis MS.

Situs salah satu perhimpunan peduli MS di Inggris mencatat bahwa sejarah tentang keluhan penyakit MS kali pertama mulai muncul dalam dua tulisan di masa silam. Yang pertama, sebuah biografi yang diterbitkan pada tahun 1433, tetapi baru ditemukan dan dikaji pada tahun 1947. Buku tersebut mengisahkan riwayat hidup seorang tokoh rohaniwan, wanita bernama St. Lidwina dari Belanda yang mengalami penderitaan gangguan pandangan mata, berjalan, dan kondisi tubuh yang kian melemah. Namun, pembuktian dari penyidikan kondisi terhadap tulang kerangka St. Lidwina belum dapat meyakinkan bukti bahwa mendiang menderita MS.

Yang kedua, catatan harian Augustus d’Este (1794-1848), seorang cucu dari Raja George III di Inggris. Augustus d’Este mulai menuliskan keluhan kondisi badannya terhitung sejak tahun 1822 hingga menjelang hari terakhirnya. Augustus d’Este mengalami gangguan pandangan mata, kaki yang melemah, buang air, tubuh gemetar, kesemutan, kaku pada bagian badan, kejang, hingga impotensi.

Augustus d’Este belum pernah terdiagnosis terkena MS saat itu. Dia lebih banyak menghabiskan waktu berbaring di tempat tidur. Hingga 20 tahun setelah wafatnya Augustus d’Este, dunia medis masih belum mendalami penyakit MS secara khusus. Meski demikian, observasi terhadap mereka yang mengalami keluhan serupa dengan St Lidwina dan Augusto d’Este terus dilakukan.

Barulah pada tahun 1868, seperti yang dituliskan dalam situs MSAAS (perhimpunan MS di Amerika), Jean-Martin Charcot mengungkapkan temuannya dan memberikan nama multiple sclerosis. Charcot dikenal sebagai ilmuwan sekaligus seorang neurologis ternama berkebangsaan Perancis. Beliau juga guru yang disegani dari tokoh psikoanalisis terkenal Sigmund Freud.

Nama multiple sclerosis berasal dari kata multiple (dari bahasa Inggris, berarti banyak) dan sclerosis (dengan akar kata skleros dari bahasa Yunani, berarti keras atau mengeras). Istilah ini digunakan dalam dunia medis untuk menjelaskan terjadinya kerusakan yang terjadi dalam selubung (mielin) aliran saraf. Kerusakan semacam ini bisa terjadi di banyak tempat di sekitar otak sebagai pusat saraf dan tulang belakang.

Perumpamaan yang sering digunakan untuk MS adalah kabel listrik. Sebagaimana yang terjadi pada suatu alat elektronik, terkadang alat tak berfungsi karena rupanya ada aliran kabel terputus yang tak terlihat dari luar. Demikianlah sekiranya yang terjadi dengan mielin yang menyelubungi aliran saraf di dalam tubuh sehingga mengganggu kelancaran gerak tubuh, seperti kesemutan yang tidak hilang, mati rasa pada tangan, lutut yang melemah, keseimbangan badan, dan cepat lelah.

Perbandingan saraf normal (kiri) dan saraf dengan gangguan MS (kanan).

Tim dokter saraf memulai diagnosis dengan memeriksa bagian-bagian tubuh yang dikeluhkan, pertanyaan seputar riwayat kesehatan diri dan keluarga. Berikutnya, dilakukan pemindaian Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau dengan pungsi lumbar (lumbar puncture). Hasil MRI memberikan gambaran yang terjadi di aliran saraf seputar otak dan tulang belakang. Pungsi lumbar adalah tindakan medis dengan menusukkan bagian punggung untuk mendapatkan sampel cairan tulang belakang.

Dari hasil diagnosis akan diketahui jenis MS yang diderita. Berdasarkan keluhan dan kondisi, MS memiliki 3 jenis tingkatan.  Tingkatan pertama adalah jenis kambuh dan hilang (remitting-relapsing MS/RRMS). Masih dalam tingkatan RRMS ada jenis MS jinak, yakni ketika keluhan beranjak menetap, tetapi tergolong ringan (benign) dan rapidly evolving severe (RES-RRMS) jika ditemukan adanya luka (lesion) di dalam hasil MRI dan penyintas mengalami serangan dua kali dalam setahun. Yang kedua adalah tingkat berkelanjutan (secondary-progressive MS/SPMS) dengan keluhan-keluhan yang terus-menerus berkembang. Jenis MS yang terakhir adalah tingkatan paling puncak (primary-progressive MS/PPMS) dengan kondisi maupun keluhan yang kian memburuk dan bertahan.

Pascadiagnosis biasanya menjadi masa terberat bagi pasien maupun keluarga sang pasien. Dokter belum dapat menjelaskan sebab terjadinya MS. Pasien maupun keluarga diharapkan dapat memahami apa yang terjadi dengan kondisi tubuh pasien. Hampir sebagian besar mereka yang terdiagnosis MS, sekitar 85 %, berada pada tingkatan RRMS atau kambuh dan hilang. Pada tingkatan selanjutnya, kondisi dapat semakin memburuk dan mengarah pada kecenderungan disabilitas yang semakin tinggi.

Pada RRMS, kondisi pasien ada kalanya tenang tanpa atau hanya terasa sedikit keluhan. Seiring waktu, kondisi dapat berubah dengan keluhan yang terasa memburuk. Kondisi inilah yang dikenal dengan serangan atau relapse dan kembali lagi ke kondisi membaik. Ada juga istilah pseudo-relapse, hampir mirip dengan relapse, yakni ketika serangan terjadi tidak dalam jangka waktu lama atau kurang dari 24 jam.

Biasanya, pasien RRMS mengalami 1-2 kali serangan dalam setahun. Untuk mengurangi kondisi yang lebih buruk akibat serangan, dokter dapat memberikan steroid untuk beberapa hari. Pasien juga dapat meminta saran dokter untuk mengonsumsi obat penawar atau pengurang gejala sakit (disease modifying drug/DMD) yang biasanya disertai suplemen vitamin D. Penyintas juga sebaiknya mendapatkan sinar matahari pagi yang mengandung vitamin D. Sejumlah ahli masih mengkaji hubungan antara vitamin D dan MS karena dimungkinkan kurangnya kadar vitamin D dapat memicu kondisi yang memburuk bagi penyintas MS.

DMD dapat berupa serum yang disuntikkan atau melalui infus dan berupa pil/kapsul yang bisa langsung ditelan dengan takaran tertentu per hari. Tentu saja, DMD memerlukan saran dari dokter yang memberikan diagnosis. DMD masih berperan sebagai pengurang rasa sakit atau kondisi relapse, belum bisa disebut sebagai obat penyembuh. Sejumlah artikel menyarankan semakin cepat terdiagnosis dan mengonsumsi DMD akan memperlambat kerusakan yang terjadi di dalam otak dan tulang belakang. Dengan demikian, kondisi pasien dapat lebih terkendali dan memperlambat berkembangnya keluhan ke tahapan berikutnya.

Mereka yang awalnya terdiagnosis RRMS kemungkinan mengalami tingkatan SPMS di waktu mendatang. Pada tingkatan SPMS, kondisi kambuh dan hilang menjadi melambat yakni ketika kondisi membaik menjadi semakin lama tercapai, tidak seperti dalam tingkatan kambuh dan hilang (RRMS). Dan tingkatan paling puncak (PPMS) dapat terjadi ketika kondisi semakin memburuk dan sulit untuk didiagnosis.

Di beberapa negara yang memiliki empat musim seperti Selandia Baru, DMD disarankan oleh tim dokter dengan dukungan dana dari pihak pemerintah setempat. Fasilitas ini diberikan barangkali karena tingginya angka pasien. Di Selandia Baru, 1 dari 1000 orang diperkirakan terdiagnosis MS.

Peta Penyebaran MS di dunia dan kerentanannya dari sangat rentan, kemungkinan berisiko tinggi, risiko rendah, kemungkinan berisiko rendah, beresiko gradien utara-selatan, risiko lainnya.

Pada peta dunia MS dapat dilihat tingginya angka penyintas MS di sejumlah negara. Dengan menyimak peta dunia kejadian MS di atas, tidaklah heran ada sejumlah pendapat dari kalangan yang peduli dan menggeluti dunia MS menyatakan bahwa negeri-negeri yang memiliki suhu udara dingin dan berada jauh dari khatulistiwa memiliki pasien MS yang tinggi dan berisiko terdiagnosis MS. Meski demikian, jumlah penyintas MS di negeri-negeri yang dekat dengan garis khatulistiwa, seperti Indonesia, pun semakin bertambah dari waktu ke waktu.

Di sejumlah negara yang tergolong maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia dan termasuk Selandia Baru, para penyintas MS mendapatkan fasilitas pendampingan yang dikenal dengan MS Nurse. Pihak rumah sakit menyediakan perawat dengan spesialisasi penyakit MS. MS Nurse dapat menerima keluhan pasien terutama yang baru terdiagnosis MS, memberikan saran dan tindakan medis, dan jika dibutuhkan, akan ada rujukan kepada neurologis untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Di luar rumah sakit, tersedia lembaga-lembaga masyarakat yang peduli MS, yang menggalang dana dari berbagai sumber untuk kegiatan-kegiatan mereka. Misalnya, di kota Auckland, terdapat organisasi MS Society Auckland yang memiliki sejumlah tenaga pendamping yang berperan sebagai MS Nurse di lapangan sehingga dapat mengunjungi langsung penyintas di rumah jika diperlukan. Selain itu, para pendamping menyelenggarakan sejumlah kegiatan yang melibatkan penyintas, mulai dari pertemuan rutin di kafe-kafe terdekat, terapi hidro atau berenang, hingga pertemuan besar organisasi. Perhimpunan semacam ini biasanya saling bekerja sama dengan pihak rumah sakit dan lembaga serupa dari satu wilayah dengan wilayah lainnya bahkan antarnegara.

Untuk berbagi kepedulian, kepekaan, dan pendidikan tentang menyikapi MS, ada pula hari MS sedunia, yang jatuh pada setiap hari Rabu di pekan terakhir bulan Mei. Peringatan ini kali pertama diadakan pada tahun 2009, ketika perhimpunan peduli MS internasional (MS International Federation) mendeklarasikan hari MS sedunia pada tanggal 30 Mei 2009.

Peringatan setiap tahun diadakan dengan tema kampanye yang berbeda. Beberapa tema sebelumnya yang telah dikampanyekan adalah “independence” (kemandirian) pada tahun 2016, “life with MS” (hidup bersama MS) pada tahun 2017, “bringing us closer” (merapat lebih dekat) pada tahun 2018, dan ”my invisible MS” (MS yang tak tampak) pada tahun 2019.

Indonesia memiliki satu organisasi peduli MS bernama Yayasan Multipel Sklerosis Indonesia (YMSI) yang berafiliasi dengan perhimpunan-perhimpunan MS sedunia, serta ikut aktif setiap tahun memeringati hari MS sedunia. YMSI didirikan pada tahun 2008 oleh seorang wanita muda yang terdiagnosis MS, Kanya Puspokusumo (lahir pada tahun 1971). Beliau mewujudkan cita-citanya akan kebutuhan wadah menebarkan informasi dan kepedulian seputar MS di tanah air dan mengenalkan kepada jejaring dunia bahwa MS juga hadir di Indonesia, di negeri khatulistiwa.

Sosok Kanya Puspokusumo sendiri dapat menjadi inspirasi dan bisa disimak dalam laman YMSI yang menyuguhkan tulisan sekilas mengenai sosok beliau pada bagian profil pengurus. Beliau terdiagnosis MS saat mengikuti program perkuliahan master di negeri Jepang pada tahun 2001. Kanya Puspokusumo mengalami kegundahan setelah terdiagnosis MS, termasuk kebutuhan akan fasilitas kesehatan untuk mengendalikan kondisi fisik dan mental, terutama di tanah air. Para penyintas MS beserta keluarga dan masyarakat luas pun sangat membutuhkan informasi semacam ini.

Laman YMSI dengan alamat multiplesclerosis.or.id memberikan informasi bagi khalayak yang berkeinginan mengetahui seluk beluk MS. Semoga apa yang dibagikan laman YMSI beserta kegiatan YMSI dapat membuka pengetahuan dan kepedulian kita bersama menyikapi penyakit MS. Harapan yang tersirat, semoga makin terbuka keberpihakan dari berbagai khalayak terutama instansi kesehatan terkait untuk menambah fasilitas dan dukungan bagi para penyintas MS. Dan, barangkali termasuk ketersediaan dan kemudahan akan DMD yang dapat mengendalikan kondisi MS bagi mereka yang termasuk baru terdiagnosis.

Pengalaman pribadi penulis sebagai penyintas MS

Penulis terdiagnosis MS tepat pada 10 November tahun 2016 silam. Setelah berbagai macam keluhan dalam kurun waktu hampir setengah tahun, dokter umum memberikan rujukan ke pihak tim spesialis ahli saraf. Keluhan tersebut antara lain: kedua tangan yang terasa kebas dan kesemutan, lutut kanan yang melemah sehingga jalan terseret-seret dan terhuyung-huyung, rasa lelah yang luar biasa setelah aktivitas ringan atau setelah berjalan.

Kondisi ini membuat penulis menjadi akrab dengan sejumlah istilah dalam MS, seperti fatigue (keletihan yang luar biasa), relapse (serangan), spasm, tremor, spasticity (yang dapat berarti otot terasa tegang, kejang, gemetar) dan brain fog (brain berarti otak dan fog berarti kabut atau asap; ketidakjelasan ketika dalam proses berpikir). Kondisi itu pun disertai dengan emosi yang tidak stabil dan rasa cemas (anxiety). Tim dokter ahli saraf pun menyusuri rekam jejak penyakit dan riwayat kesehatan keluarga. Selanjutnya, dokter memberikan rujukan untuk tes pemindaian MRI. Kemudian pada Hari Pahlawan 2016, dokter resmi menyatakan penulis terdiagnosis MS.

Ketika dirunut ke belakang, ternyata ada gejala awal berupa gangguan mata pada tahun 2013. Saat itu dokter spesialis mata segera melakukan pemindaian CT-scan. Setelah membaca hasil pemindaian, dokter memberikan diagnosis, optic neuristic. Hasil pemindaian tersebut tidak memperlihatkan adanya gangguan, tetapi penulis saat itu hanya bisa melihat bayangan gelap pada mata kanan disertai rasa sakit kepala, hanya mata kiri yang berfungsi normal.

Keadaan ini berlangsung sekitar 3 pekan tanpa pengobatan dari dokter mata. Dokter mata tidak memberikan obat-obatan saat itu karena khawatir akan memperburuk kondisi. Namun, penglihatan kembali normal setelah beberapa waktu, begitu pula kondisi tubuh. Baru dua tahun kemudian, keluhan lutut kanan yang melemah terjadi. Lutut kanan sempat mengalami dislokasi, sehingga aktivitas berjalan dan berdiri tegak menjadi terganggu. Selain itu, penulis sering kali terjatuh, kebas kesemutan di kedua tangan dan mudah lelah.

Ketika menjelaskan temuan hasil tes MRI, dokter menjelaskan sambil memeragakan dengan tangannya memegang tengkuk beliau sendiri, gangguan terjadi di daerah otak di sekitar bagian atas tengkuk, daerah tersebut bernama serebelum. Hal ini mengakibatkan gangguan keseimbangan tubuh. Artinya, penulis tidak bisa berlama-lama berdiri tegak. Juga terlihat adanya lesi (luka parut atau gangguan) di bawah pundak. Gambar luka itu menjelaskan rasa sakit yang penulis rasakan, di pundak belakang dan juga cepat merasa lelah.

Sekali lagi, perlu digarisbawahi bahwa keluhan ataupun gangguan atau luka pada selubung saraf yang terjadi di setiap penyintas MS dapat berbeda tempat dan tidak sama antara seorang penyintas satu dengan lainnya. MS bagi penulis memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan. Dimulai dari rasa sakit yang tak terlihat, keunikan keluhan di antara sesama penyintas, belajar menerima apapun yang terjadi dalam kehidupan, menjaga pola makan, mensyukuri nikmat yang diberikan Sang Pencipta, baik itu ujian ataupun pujian yang barangkali tak bisa tertangkap oleh terbatasnya nalar dan pengetahuan penulis untuk memahami.

Catatan editor:

MS adalah penyakit kronis yang akan menyertai penyintasnya seumur hidup. Sebagaimana penyakit kronis lainnya, banyak pihak yang mengklaim dapat menyembuhkan penyakit kronis tersebut dengan metode yang tidak terbukti secara ilmiah. Oleh karena itu, sebaiknya pengobatan dan perawatan harus selalu dalam pengawasan dokter spesialis yang berpengalaman.

Bahan bacaan:

Penulis:

Triyoga Dharmautami, penyintas MS, anggota YMSI dan MSAkl, saat ini tinggal di Auckland, Selandia Baru. Kontak: yogautami (at) gmail.com

Back To Top