Melatih Jiwa Kepemimpinan Sejak Dini

“Pemimpin”, kata tersebut seperti kata bermakna yang hanya orang-orang tertentu yang dapat mencapainya. Apakah jiwa kepemimpinan hanya dimiliki oleh sebagian orang yang terpilih? Atau dalam istilah kerajaan “dipilih oleh langit”? Mitos yang beredar kerap menyebutkan hanya orang tertentu dari keturunan tertentu yang bisa menjadi pemimpin. Toh pada akhirnya jarang sekali kita memiliki dua kepala untuk menjadi pemimpin kita. Namun, di balik mitos tersebut jiwa kepemimpinan bukanlah hal yang tidak mungkin untuk dikembangkan. Bukan hanya kesiapan menjadi pemimpin, melainkan juga siap untuk dipimpin itu harus sinergis. Menjadi pemimpin terlihat tidak gampang, tetapi untuk siap dipimpin pun bukanlah hal yang mudah.

Kepemimpinan (leadership) berkenaan dengan kondisi seseorang memengaruhi perilaku orang lain untuk suatu tujuan. Namun, bukan berarti bahwa setiap orang yang memengaruhi orang lain untuk suatu tujuan disebut pemimpin. Karakter pemimpin menurut beberapa riset ada yang mencapai 80 karakter. Apabila dikerucutkan, hanya 6 karakter yang membedakan pemimpin atau bukan. Keenam karakter tersebut adalah: ambisi dan energi, hasrat untuk memimpin, kejujuran dan integritas, percaya diri, kecerdasan, dan pengetahuan yang relevan terhadap pekerjaan. Riset lainnya menyatakan bahwa sifat pemantauan diri yang tinggi (sangat luwes dalam menyesuaikan perilaku pada situasi yang berlainan), mempunyai kemungkinan yang lebih besar muncul sebagai pemimpin kelompok daripada yang pemantauan dirinya rendah (Yudiatmaja, 2013).

Karakter-karakter tersebut semestinya dimiliki pula oleh yang dipimpin. Kewajiban pemimpin dalam memberikan keteladanan bukan hanya sekedar teladan, melainkan juga kaderisasi. Pemimpin yang berhasil menurut penulis adalah ketika dia dapat menjadikan pemimpin berikutnya melebihi keberhasilannya dalam memimpin. Kesinambungan kepemimpinan yang baik itu penting untuk diperhatikan. Jiwa kepemimpinan sebenarnya dapat mulai dilatih semenjak sekolah. Mulai dari pemilihan ketua kelas, ketua kelompok, pramuka, dan aktivitas lainnya, yang berkaitan dengan kerja sama.

Karakter pemimpin secara perlahan tumbuh dan berkembang lewat pembelajaran. Anak diberikan pelajaran untuk memilih dan memutuskan penyelesaian masalah yang akan diambilnya. Pengambilan keputusan ada dalam ranah kognitif. Pendidik berkewajiban untuk membantu mengembangkan karakter pemimpin dalam diri anak. Tidak hanya pendidik, tetapi lembaga sekolah pun perlu membuat sistem yang cocok dalam membentuk karakter tersebut. Di sekolah-sekolah umum selalu ada organisasi semacam OSIS atau pramuka yang menjadi wadah bagi pengembangan karakter kepemimpinan, yang mendorong untuk dapat bersosialisasi.

Begitu pun dengan sekolah berbasis agama seperti pondok pesantren, di dalamnya tidak lepas dari pengkaderan menjadi pemimpin. OSIS di pesantren pada esensinya tetap sama, siswa diajarkan untuk bertanggung jawab dalam mengelola kegiatan-kegiatan yang ada. Perbedaan dengan organisasi siswa di pondok amat beragam. Santri bukan hanya mencicipi sebagai ketua kelas namun juga ketua kamar, sebagai kakak senior yang membimbing adik-adiknya di kamar tersebut. Bukan hanya orang-orang tertentu seperti OSIS yang biasanya diikuti oleh hanya sebagian siswa dan yang lainnya anggota. Kepengurusan di pesantren menjadi kewajiban bagi santri. Semua santri akan merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang pemimpin dan pengurus.

Pemahaman yang diberikan oleh pondok pesantren tidak hanya terletak pada kepemimpinannya, tetapi juga pada tanggung jawab setiap individu untuk menjalankan peraturan dan amanah yang diberikan. Baik yang memimpin dan dipimpin, keduanya harus taat pada disiplin pesantren. Pendidikan yang sudah menyatu dengan sistem yang otomatis akan tetap berjalan selama 24 jam tanpa henti. Kekosongan kegiatan di pesantren bagaikan tubuh yang tidak beraga, merusak, dan akan hancur. Berlangsungnya kegiatan yang dijalankan oleh santri itu sendiri dalam rangka memandirikan dirinya tanpa harus bergantung pada siapapun.

Kepemimpinan di pondok pesantren bukan hanya tentang enam karakter sebagaimana yang disimpulkan oleh riset namun terletak pada pancajiwa pondok. Pancajiwa pondok adalah ruh dari pesantren, jiwa yang harus dimiliki oleh semua santri dan para pengasuhnya, terdiri atas keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, persaudaraan, dan keluasan cara pandang.

Jika pancajiwa dimiliki oleh pemimpin, semestinya ia akan menjadi pemimpin yang baik. Lingkup pendidikan kepemimpinan di pesantren tidak hanya berguna untuk lingkup yang kecil meskipun terlihat sepele seperti “menjadi ketua kamar”, tetapi untuk lingkup yang lebih besar lagi. Mulai dari kanak-kanak sebagai orang tua, guru, dan masyarakat sudah sewajibnya mengajarkan dan mendidik jiwa kepemimpinan dari sejak dini.

Bahan bacaan:

Penulis:

Pepi Nuroniah, Mahasiswi S-2 Jurusan Pendidikan dan Konseling, Universitas Negeri Malang.

Kontak: pepinuroniah(at)gmail(dot)com.

Back To Top