Siapa yang tidak kenal dengan ikan sidat? Ikan yang penuh dengan misteri ini merupakan salah satu dari genus Anguilla. Lebih dari ratusan tahun yang lalu, ikan ini menjadi misteri bagi banyak orang di dunia. Tidak ada yang pernah mengetahui bagaimana ikan sidat ini bertelur ataupun menetas karena tidak pernah ditemukan organ reproduksinya, baik jantan maupun betina. Ikan sidat tidak hanya terdapat di Eropa dan Amerika, tetapi sejarah perjalanan hidupnya tercatat pertama kali di Eropa dan Amerika.
Teori dari Aristoteles menyatakan bahwa sidat keluar dari Bumi yang permukaannya berasal dari tanah liat atau tanah yang lembap. Teori ini tidak terbantahkan di masa itu. Namun, di awal abad pertama Masehi, tiga ratus tahun dari Teori Aristoteles, para naturalist dari Kerajaan Romawi menyatakan bahwa ikan sidat memperbanyak diri dengan cara membenturkan dirinya di bebatuan laut sehingga terbagi-bagi menjadi sidat-sidat kecil.
Di Abad Pertengahan pun muncul teori yang menyatakan bahwa ikan sidat berasal dari rambut-rambut kuda yang jatuh di sungai. Hal ini disebabkan pada saat itu banyak sidat ditemukan pada tempat kuda biasa minum air sungai. Hasil observasi dari beberapa ilmuwan menyatakan bahwa ketika musim gugur, banyak sidat yang berwarna perak atau coklat berenang dari sungai menuju ke laut. Sebaliknya, ketika musim semi, sidat yang berukuran jari berenang dari laut menuju ke hulu-hulu sungai.
Pada tahun 1856, Johan Kaup, seorang ilmuwan dari Jerman, mengamati ikan hasil temuan dari temannya yang berbentuk seperti daun (leaf-shaped fishes). Kaup mengawetkan dan mengobservasi ikan yang berasal dari Laut Mediterania tersebut, kemudian menyatakan bahwa itu adalah spesies baru dan memberi nama leptocephalus brevirostris.
Pada tahun 1895, dua orang ahli biologi dari Italia, yakni Grassi and Callandrucio menemukan leaf-shaped fishes yang sama seperti penemuan Kaup di laut Mediterania. Mereka tidak mengawetkan ikan tersebut di dalam etanol, tetapi memeliharanya di dalam akuarium. Setelah beberapa minggu, leaf-shaped fishes itu berubah menjadi glass eel atau larva sidat sehingga disimpulkan itu bukan spesies baru.
Di awal abad ke-19, ahli zoologi dari Belanda, Johannes Schmidt melakukan pelayaran di antara Skotlandia dan Islandia. Dia takjub ketika mendapatkan larva sidat berukuran 3 inci berada di dalam jaring kapalnya. Kejadian itu adalah kali pertama larva sidat ditemukan di luar Laut Mediterania. Pemerintah Belanda antusias dengan penemuan Schmidt sehingga meluncurkan tim ekspedisi ke lautan Atlantis yang diketuai oleh Schmidt.
Dalam perjalanannya hingga lautan Atlantis, Schmidt mencatat bahwa larva-larva sidat berenang menuju lautan Amerika dan lautan Eropa. Lalu, apakah sidat-sidat tersebut berpijah di tempat yang sama? Pada tahun 1922, Schmidt berlayar menuju Laut Sargasso, sebelah selatan Bermuda dan sebelah timur Florida. Di sana Schmidt menemukan larva sidat yang panjangnya hanya seperempat inci. Larva tersebut merupakan larva terkecil yang pernah ditemukan sehingga dapat disimpulkan bahwa Laut Sargasso merupakan tempat pemijahan sidat Eropa dan Amerika (sekarang dikenal dengan nama spesies Anguilla Anguilla dan Anguilla rostrata).
Laut Sargasso memiliki palung yang kedalamannya melebihi tinggi gunung Mc. Kinley (gunung tertinggi di Amerika Utara). Jarak Laut Sargasso dengan lautan Amerika sekitar seribu kilometer, sedangkan lautan Eropa sekitar tiga ribu kilometer sehingga butuh waktu satu tahun bagi larva-larva sidat Amerika untuk mencapai muara-muara laut, sedangkan larva sidat Eropa butuh waktu sekitar tiga tahun.
Seiring dengan perkembangan keilmuan dan teknologi, akhirnya teka-teki misteri perjalanan hidup ikan sidat mulai terpecahkan. Menurut penelitian Minegishi dkk. (2004), ada 18 spesies ikan sidat di seluruh dunia berdasarkan data mitochondrial genome sequences.
Dalam hidupnya, ikan sidat melewati lima fase, yaitu leptocephalus, glass eel, elver, yellow eel dan silver eel. Pada fase leptocephalus, sidat berbentuk seperti daun dan pipih. Pada fase glass eel, bentuknya lebih silinder, tetapi warnanya transparan. Pada fase elver, pigmen warna pada tubuh sidat mulai muncul. Kemudian, pada fase yellow eel, pigmen warna tubuh ikan sidat berubah menjadi kuning. Pada fase silver eel, ikan sidat mengalami perubahan pigmen tubuh menjadi warna perak atau coklat. Fase-fase ini terjadi selama ikan sidat bermigrasi dari laut menuju air payau atau tawar dan kembali dari air payau atau tawar menuju ke laut untuk memijah.
Ketika ikan sidat bermigrasi ke laut untuk memijah, sepanjang perjalanan ikan ini tidak mengoptimalkan sistem pencernaannya. Hal ini diduga karena ikan sidat berpuasa, serta meningkatkan pertumbuhannya untuk gonad (sel kelamin). Ikan sidat jantan yang siap memijah berukuran relatif lebih kecil daripada ikan sidat betina. Dalam sekali pemijahan, ikan sidat betina dapat menghasilkan telur hingga mencapai 12 juta butir. Setelah memijah, diduga ikan ini mati dan meninggalkan telur-telurnya. Sekitar seminggu atau lebih, telur-telur ini menetas dan menjadi leptochepali. Leptocephali memiliki warna transparan untuk menghindar dari predator. Bukanlah hal yang mudah bagi leptocephali untuk bertahan hidup dan bermigrasi ribuan kilometer hingga mencapai muara laut tanpa perlindungan dari induknya.
Pemijahan ikan sidat secara alami dilakukan di laut dalam yang memerlukan suhu, tekanan, dan kondisi tertentu, sehingga sangat sulit bagi manusia untuk memijahkannya secara buatan. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, penelitian mengenai pemijahan buatan telah dimulai sejak tahun 1960 di Jepang. Pada tahun 1974, Yamamoto dan Yamauchi berhasil melakukan fertilisasi buatan dan menghasilkan larva yang dipelihara hingga preleptocephalus berukuran 7 mm.
Pada tahun 2001, Tanaka dkk. menemukan pakan untuk larva sidat yang berasal dari telur hiu. Tentunya ini menjadi sebuah dilema bagi para ilmuwan karena populasi ikan hiu tidak seimbang dengan kebutuhan pakan larva ikan sidat sehingga masih ada beberapa kesulitan yang perlu diatasi bersama terkait dengan pengembangan pakan baru agar lebih terjangkau, proses pemeliharaan agar lebih mudah, periode pemeliharaan harus lebih diperpendek, serta pencegahan penyakit dan kelainan morfologis (Masuda dkk. 2012).
Di Jepang, sidat dikategorikan menjadi hewan langka dan masuk dalam daftar merah spesies yang harus dilindungi. Kementerian Lingkungan Hidup Jepang mengindikasikan spesies sidat di negara itu telah menurun hingga 90% (Topan dan Riawan, 2015). Padahal, ikan sidat merupakan konsumsi favorit penduduk Jepang karena daging sidat dipercaya mengandung vitamin A 4.700 IU/100 gram, sedangkan hati sidat mengandung vitamin A 15.000 IU/100 gram.
Kandungan vitamin A pada ikan sidat lebih tinggi dibandingkan dengan mentega yang hanya mengandung vitamin A sebanyak 1.900 IU/100 gram. Tidak hanya kandungan vitamin A yang tinggi, kandungan DHA (1.337 mg/100 gram) dan EPA (742 mg/100 gram) ikan sidat bahkan lebih tinggi dibandingkan kandungan DHA (Kandungan820 mg/100 gram) dan EPA (492 mg/100 gram) ikan salmon (Ciptanto, 2010). Oleh karena itu, para ilmuwan masih terus mengembangkan penelitiannya agar mendapatkan glass eel yang tinggi dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga budidaya ikan sidat dapat berjalan berkelanjutan tanpa tergantung pasokan benih dari alam lagi.
Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah masyarakat telah mengenal ikan sidat? Adakah penelitian yang terus berkembang seperti di negara Jepang? Di Indonesia, ikan sidat memiliki sebutan yang bermacam-macam sesuai dengan daerahnya masing-masing. Ada yang menyebut sidat sebagai ulin, lumbon, pelus (Jawa), moa, lobang, larak, gating, denong, mengaling, lara, luncah dan sigili. Ikan ini tersebar hampir di seluruh Indonesia. Meskipun ikan sidat hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, sebagian masyarakat masih tabu terhadap keberadaannya apalagi untuk mengkonsumsinya.
Ada sebagian masyarakat yang menganggap ikan sidat adalah ikan siluman, bahkan ada yang menganggap keramat. Misalnya, di daerah Kabupaten Gunungkidul, sidat biasanya berada di luweng-luweng atau sungai bawah tanah dan dipercaya menjadi penunggu sungai tersebut. Di satu sisi, hal ini memiliki manfaat sebagai bentuk konservasi karena sidat juga dipercaya mampu meningkatkan debit air sungai bawah tanah dengan cara membuat lubang-lubang di antara bebatuan gua.
Saat ini, peneliti di Indonesia sudah mulai melakukan penelitian tentang ikan sidat. Yulia Sugeha dkk. Adalah salah satu contoh tim peneliti ikan sidat di Indonesia. Di tahun 2008, Yulia dan koleganya telah melakukan penelitian tentang biodiversitas, distribusi, dan kelimpahan ikan sidat di perairan Indonesia. Mereka menyimpulkan bahwa dari 18 spesies dan subspesies ikan sidat di dunia, 9 di antaranya ada di Indonesia, yaitu Anguilla bicolor bicolor, Anguilla bicolor pacifica, Anguilla nebulosa nebulosa, Anguilla marmorata, Anguilla celebesensis, Anguilla borneensis, Anguilla interioris, Anguilla obscura dan Anguilla megastoma.
Berdasarkan peta persebaran ikan sidat tersebut, Indonesia merupakan salah satu penghasil ikan sidat terbesar di dunia, apalagi sidat jenis Anguilla bicolor bicolor dan Anguilla marmorata masih banyak jumlahnya, sehingga banyak perusahaan asing terutama Jepang mengimpor sidat dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan mereka. Meskipun relatif masih banyak, jumlah ikan sidat di Indonesia berkurang dibandingkan dengan dua puluh tahunan yang lalu. Penyebabnya adalah kerusakan habitat, penangkapan berlebihan, pencemaran, hingga pembangunan bendungan (Budiharjo, 2010).
Penelitian mengenai ikan sidat di Indonesia selayaknya perlu terus dikembangkan untuk menemukan solusi penurunan jumlah populasi ikan sidat. Sayangnya, penelitian mengenai ikan sidat di Indonesia masih relatif sedikit dibandingkan negara-negara di Eropa, Amerika maupun Jepang. Padahal, masih banyak misteri ikan sidat di Indonesia yang belum terpecahkan. Apabila kita mampu memecahkan misteri ikan sidat mulai dari daur hidup, habitat, diet, hingga perilaku pemijahannya, tidaklah mustahil bagi kita untuk melakukan pemijahan buatan dan mendapatkan glass eel berkualitas tinggi sehingga jumlah ikan sidat dapat ditingkatkan kembali.
Bahan bacaan:
- Budiharjo, A. 2010. Migrasi Larva Sidat (Anguilla spp.) ke Muara Sungai Progo. Disertasi S3 Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 122 hal.
- Ciptanto, Sapto. 2010. Top 10 Ikan Air Tawar. Lily Publisher : Yogyakarta
- Jacobs, Francine. 1973. The Freshwater Eel. Drawing by josette Gourley. William Morrow and Company. New York.
- Masuda, Y., H. Imazumi, K. Oda, H. Hashimoto, H. Usuki, K. Teruya. 2012. Artificial completion of the Japanese Eel, Anguilla japonica, Life cycle: challenge to mass production. Bull. Fish. Res. Agen No. 35 111-117.
- Minegishi, Y., J. Aoyama, J.G. Inoue, M. Miya, M. Nishida, K. Tsukamoto. 2005. Molecular and phylogeny and evolution of the freshwater eels genus Anguilla based on the whole mitochondrial genome sequences. Molecular Phylogenetics and Evolution 34 (2005) 134-146.
- Sugeha, H.Y., S.R. Suharti, S. Wouthuyzen, and K. Sumadhiharga. 2008. Biodiversity, Distribution and Abundance of the Tropical Anguillid Eels in the Indonesian Waters. https://www.researchgate.net.publication//278412156
- Topan, M. dan Riawan, Nofiandi. 2015. Budidaya Belut dan Sidat. Agromedia Pustaka: Jakarta Selatan.
- http://www.marinereservescoalition.org/conservation/uk/uk-marine-life/european-eel-anguilla anguilla/
- https://www.irelandswildlife.com/european-eel-anguilla-anguilla/
Penulis:
Nur Indah Septriani, mahasiswi S-3 di Graduate School Bioresources and Bioenvironmental Sciences, Animal and Marine Bioresources Department, Fisheries Biology Laboratory, Kyushu University. Japan.