Kolaborasi dan kompetisi pasti mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Saling bantu dan saling sikut bisa terjadi. Namanya juga manusia, ada dana penelitian dan nama baik yang dipertaruhkan. Berlomba-lombalah mereka menjadi yang pertama, mungkin agar namanya diabadikan dalam label suatu hukum fisika. Sebelum didahului tandingan, penelitian harus segera tuntas dengan hasil yang menggemparkan dunia. Namun, ada harga yang harus dibayar, terburu-buru bisa menjadi bencana.
Pepatah para ilmuwan mengatakan, “Ilmuwan boleh salah, asalkan tidak bohong,” meskipun ada juga “ilmuwan palsu” yang memanipulasi data untuk mendukung klaimnya. Dalam banyak kejadian, sejujur-jujurnya sang peneliti, tetap saja kesalahan bisa terjadi, misalnya karena lalai mempertimbangkan efek-efek tertentu. Oleh karena itu, kehati-hatian sangat diperlukan. Kalau ujian fisika salah mengalikan saja, nilainya sudah dikurangi, bukan? Pepatah lainnya mengatakan, “Klaim yang luar biasa membutuhkan bukti yang luar biasa pula.” Kita bisa belajar dari peristiwa-peristiwa yang sempat menghebohkan dunia fisika, yang sekarang sunyi senyap setelah terbukti ada kesalahan analisis. Mari kita lihat contoh-contohnya.
Fusi nuklir “dingin” di dalam tabung reaksi
Reaksi fusi adalah reaksi penggabungan inti atom ringan menjadi inti atom yang lebih berat. Reaksi fusi berbeda dengan reaksi fisi yang merupakan pemisahan inti atom berat menjadi inti atom-inti atom yang lebih ringan yang biasanya bersifat radioaktif. Hasil reaksi fusi nuklir lebih aman daripada reaksi fisi.
Reaksi fusi di alam semesta salah satunya terjadi di inti matahari. Artinya, cara konvensional menciptakan reaksi fusi adalah dengan menyediakan kondisi yang sama dengan inti matahari, yaitu temperatur yang tinggi, jutaan derajat Celcius. Reaktor “Tokamak” di beberapa negara maju adalah satu-satunya jenis reaktor yang dikenal mampu menghasilkan fusi meskipun dalam waktu yang sangat singkat. Caranya dengan “mengurung” plasma menggunakan medan magnet. Hingga kini, belum ada variasi reaktor ini yang menguntungkan secara komersial.
Tahun 1989, Martin Fleischmann dan Stanley Pons dari Universitas Utah, Amerika Serikat, mengklaim mampu menciptakan reaksi fusi nuklir hanya melalui proses elektrokimia yang jauh lebih “dingin” dibandingkan reaktor Tokamak. Klaim yang sangat menjanjikan. Hasil penelitian mereka dipublikasikan di Journal of Electroanalytical Chemistry.
Sejumlah peneliti lain berusaha mereproduksi hasil eksperimen tersebut dan sebagian besar gagal. Menurut golongan skeptis, tidak ada bukti memadai berupa deteksi neutron dan 3He, atau tritium dan proton yang menunjukkan terjadinya fusi. Akhirnya, grup riset dari MIT menunjukkan kesalahan fatal pada analisis spektrum sinar gamma yang diajukan Pond dan Fleischmann. Tamatkah riwayat teori fusi dingin ini? Belum. Sampai sekarang masih ada yang melakukan riset serupa meskipun sulit mendapatkan dana riset.
Fusi nuklir “sonoluminescence”
Masih pada tahun 1989, dengan menggunakan gelombang suara, Felipe Gaitan dan Lawrence Crum berhasil membuat gelembung udara pada cairan agar memancarkan cahaya. Fenomena ini diberi nama sonoluminescence. “Sono” bermakna suara, sedangkan “luminescence” adalah pancaran cahaya. Eksperimen tersebut dapat direproduksi oleh peneliti-peneliti yang lain, tidak ada keraguan di dalamnya. Diperkirakan juga bahwa pusat dari gelembung udara tersebut memiliki temperatur yang sangat tinggi. Nah, yang menjadi masalah, beberapa peneliti menganggap fenomena sonoluminescence cukup menjanjikan untuk menghasilkan reaksi fusi.
Tahun 2002, R. P. Taleyarkhan dkk. dari Oak Ridge National Laboratory (ORNL) mengklaim telah berhasil menggunakan fenomena sonoluminescence untuk menciptakan reaksi fusi nuklir. Hasil penelitiannya dipublikasikan di majalah Science. Mereka mengklaim keberadaan neutron dan tritium yang konsisten dengan reaksi fusi. Namun, eksperimen yang sama dilakukan oleh Mike Saltmarsh serta Dan Shapiro yang juga dari ORNL malah gagal mengonfirmasi hasil Taleyarkhan.
Sejarah berulang kembali. Menurut golongan skeptis, neutron yang terdeteksi pada eksperimen Taleyarkhan bukanlah dari hasil fusi, melainkan dari bedil neutron yang digunakan mereka memantul ke sana kemari dan terdeteksi pada detektor. Tahun 2004, Taleyarkhan dkk. berusaha menyempurnakan eksperimen mereka. Hasil penelitiannya dipublikasikan di jurnal Physical Review E. Ini pun belum cukup untuk meyakinkan golongan skeptis. Kalau yakin, tentu bukan skeptis lagi namanya. Untuk membuktikan bahwa neutron yang terdeteksi memang berasal dari reaksi fusi, perlu bukti bahwa deteksi neutron dapat selaras dengan kilatan cahaya.
Tahun 2005, BBC Horizon Programme membentuk tim independen dari beberapa ilmuwan dipimpin oleh Seth Putterman dari UCLA, dilengkapi detektor neutron yang lebih canggih dan resolusi hingga nanosekon. Kesimpulannya? Neutron yang terdeteksi sebetulnya acak, tidak sinkron dengan kilatan cahaya. Meskipun demikian, beberapa eksperimen fusi nuklir melalui sonoluminescence setelahnya tidak pupus masih menghiasi beberapa jurnal penelitian fisika.
Oops-Leon
Leon Lederman adalah seorang fisikawan partikel yang sangat terkenal. Ia mendapatkan Nobel Fisika pada tahun 1988. Ia pula yang membuat istilah “partikel tuhan” untuk partikel Higgs yang ditemukan pada tahun 2011 yang lalu. Namun, pada tahun 1976, fisikawan sekelas Leon Lederman masih bisa membuat sebuah kesalahan. Ia dan timnya yang bergabung dalam grup E288 mengumumkan penemuan partikel baru yang bermassa 6 GeV.
Data yang digunakan untuk membuat “penemuan” ini diambil dari data tumbukan proton target berilium. Masalahnya terdapat pada interpretasi statistik yang digunakan oleh grup E288 ini. Peluang dari data yang dianalisis yang menunjukkan keberadaan partikel baru adalah 1:50. Karena data tersebut dianalisis lebih dari 50 kali, kemungkinan “partikel baru” muncul menjadi sangat besar, padahal tidak demikian. Pengambilan data lebih banyak lagi menunjukan bahwa “partikel baru” ini sebenarnya tidak ada. “Partikel” ini disebut dengan Oops-Leon sebagai plesetan dari partikel Upsilon yang ditemukan setahun setelahnya.
Lebih Cepat dari Cahaya?
Neutrino adalah partikel yang susah sekali dideteksi. Ada beberapa eksperimen yang berusaha untuk mengetahui sifat dari partikel misterius ini. Salah satu eksperimen ini, OPERA, pada tahun 2011 menunjukan bahwa neutrino memiliki kecepatan yang lebih cepat dari cahaya. Hal ini tentu saja membuat kehebohan di kalangan fisikawan. Teori relativitas Einstein menyatakan bahwa tidak mungkin bagi partikel normal untuk lebih cepat dari cahaya. Jika hasil penelitian OPERA ini benar, teori relativitas Einstein harus dirombak! Namun, beberapa bulan kemudian, OPERA merevisi penemuannya ini. Mereka menyatakan bahwa kecepatan neutrino tidak lebih cepat dari kecepatan cahaya. Lantas apa yang salah dengan eksperimen sebelumnya? Ternyata masalahnya adalah salah satu kabel serat optik yang menghubungkan komputernya ditemukan cukup longgar. Begitu kabelnya dikencangkan, masalah hilang!
“Blue energy”? Generator tanpa bahan bakar? Bumi datar?
Ah, yang ini sih bukan penelitian fisika.
Bahan bacaan:
- https://en.wikipedia.org/wiki/Cold_fusion
- https://en.wikipedia.org/wiki/Sonoluminescence
- http://news.bbc.co.uk/2/hi/science/nature/4270297.stm
- https://en.wikipedia.org/wiki/Oops-Leon
- https://en.wikipedia.org/wiki/OPERA_experiment
- http://www.sciencemag.org/news/2012/06/once-again-physicists-debunk-faster-light-neutrinos
Penulis:
- Zainul Abidin, dosen STKIP Surya, alumnus College of William & Mary, Amerika Serikat.
Kontak: zxabidin(at)yahoo(dot)com. - Reinard Primulando, peneliti fisika partikel dan dosen di Unpar Bandung.
Kontak: reinard.primulando(at)gmail(dot)com.