“… so that one body may act upon another at a distance through a vacuum, without the mediation of anything else,…is to me so great an absurdity…”
[Isaac Newton]
Sebelum membaca artikel ini lebih jauh, bagi calon pembaca yang sudah terlanjur melirik sebagian isi tulisan dan merasa “terintimidasi” oleh simbol-simbol matematika, janganlah khawatir. Satu-satunya rumus matematika yang harus Anda tahu atau minimal percayai adalah: (-1) × (-1) = 1 (minus satu kali minus satu sama dengan satu), yang sudah kita hafalkan semenjak sekolah dasar. Persamaan-persamaan matematika tersebut hanya salah satu cara untuk meringkas narasi verbal (berbahasa Indonesia) dan membuat alur cerita lebih mudah diikuti.
Di artikel 1000guru yang terdahulu kita pernah membahas tentang kucing Schrödinger. Di sana sedikit disinggung bahwa kalau kita ingin menjelaskan keacakan di dunia mikro seperti keacakan biasa yang terjadi pada hasil lemparan koin atau dadu, kita mungkin harus mengasumsikan bahwa dua benda yang saling berjauhan satu sama lain, seberapapun jauhnya, bisa seketika itu juga (secara instan) saling memengaruhi. (Ingat bahwa keacakan seperti pada hasil lemparan koin atau dadu terjadi karena ada parameter yang tidak bisa kita akses dan kontrol, atau dengan kata lain ada ”parameter tersembunyi”.) Dalam fisika, aksi saling mempengaruhi seketika itu juga oleh dua benda yang berjauhan tanpa perantara dikenal sebagai fenomena nonlokalitas (nonlocality), atau aksi jarak jauh (action-at-a-distance).
Tentu saja aksi jarak jauh bukanlah sesuatu yang baru di dunia fisika. Newton misalnya mengasumsikan dua benda yang berjauhan satu sama lain, seperti bumi dan bulan, bisa saling tarik-menarik seketika tanpa perantara dengan gaya gravitasi. Namun, Newton menganggap aksi jarak jauh semacam itu sebagai sesuatu yang absurd (lihat kutipan di bawah judul) sehingga teori gravitasi yang dia bangun suatu saat harus dibuat lokal.
Hampir 2,5 abad kemudian, Einstein berhasil membuat teori gravitasi Newton menjadi lokal. Karenanya, bisa dipahami kalau Einstein sangat terganggu ketika dia merasa bahwa fisika kuantum, yang dia juga sangat terlibat diawal formalisasinya, kembali seperti memperbolehkan aksi jarak jauh (nonlokalitas), sesuatu yang secara intuitif sangat absurd itu dan dianggap Einstein “spooky”. Inilah mungkin kritik Einstein yang paling keras dan tajam pada fisika kuantum, yang memengaruhi debat tentang fondasi fisika kuantum sampai sekarang dan menghasilkan ide-ide cemerlang untuk mengaplikasikan konsep-konsep dasar fisika kuantum pada dunia teknologi informasi seperti komunikasi, komputasi, kriptografi dan lain-lain.
Pernyataan di awal tulisan bahwa semua model yang berusaha menjelaskan konsep-konsep abstrak di fisika kuantum dengan mengasumsikan adanya parameter tersembunyi pasti bersifat nonlokal (memperbolehkan aksi jarak jauh) disebut “teorema Bell”. Sesuai namanya, teorema ini pertama kali dinyatakan oleh John Bell pada sebuah makalah di tahun 1964 [Physics 1, 195 (1964)], salah satu makalah yang paling berpengaruh di dunia fisika dan juga filsafat sains. Menariknya, jurnal ilmiah tempat makalah Bell diterbitkan (jurnal “Physics”) malah berumur pendek.
Pada artikel kali ini kita akan membahas salah satu cara yang paling sederhana untuk membuktikan teorema Bell, yang dilakukan oleh Daniel Greenberger, Michael Horne and Anton Zeilinger pada tahun 1989 (arsip tulisan mereka dapat diakses bebas oleh publik sejak 2007). Pembuktian ini kemudian dapat dibuat dalam bentuk sebuah “permainan koordinasi jarak jauh tanpa komunikasi”, seperti diilustrasikan oleh Vaidman pada tahun 1999. Mari kita simak ceritanya.
Anggaplah ada tiga orang, yang kita panggil sebagai Asep, Bambang, dan Cinta (di literatur biasanya disebut Alice, Bob, dan Charlie). Mereka berada di tiga lokasi yang berjauhan satu sama lain, misalnya Asep di lab fisika Unpad (Jatinangor), Bambang di Undip (Semarang) dan Cinta di Unmul (Samarinda), sedemikian rupa sehingga mereka tidak bisa berkomunikasi satu sama lain. Lalu, kita siapkan sejumlah kartu yang kita bagi dua, yaitu kartu jenis X (misal berwarna biru) dan kartu jenis Y (misal berwarna kuning).
Tugas para pemain, Asep, Bambang dan Cinta, adalah menulis label berupa angka pada kartu yang disodorkan ke mereka. Mereka hanya punya dua pilihan, yakni menulis label angka 1 atau -1 pada setiap kartu yang mereka terima, sehingga kombinasi dari label-label itu mematuhi dua aturan sederhana yang akan ditulis di bawah. Permainan dilakukan sedemikian rupa sehingga apa yang terjadi di kamar setiap pemain tidak bisa memengaruhi apa yang terjadi di kamar para pemain lain.
Untuk memperjelas alur cerita, kita sebut label atau jawaban yang diberikan Asep pada kartu berjenis X yang disodorkan padanya dengan simbol AX, label yang diberikan Asep pada kartu berjenis dengan symbol AY. Begitu juga, label yang diberikan Bambang pada kartu berjenis X adalah BX dan label pada kartu yang berjenis Y adalah BY. Sementara untuk Cinta, label pada kartu berjenis X adalah CX dan label pada kartu berjenis Y adalah CY. Karena Asep, Bambang, dan Cinta hanya bisa menulis label 1 atau -1, tentunya AX, AY, BX, BY, CX, CY pun hanya bisa bernilai 1 atau -1.
Aturan permainannya sebagai berikut. Di setiap satu sesi atau satu putaran permainan, Asep, Budi, dan Cinta masing-masing diberi satu dari dua jenis kartu, X atau Y secara acak. Ingat bahwa setiap pemain tidak tahu jenis kartu apa yang diterima oleh teman-teman mereka di tempat lain. Lalu, mereka harus menulis label pada kartu-kartu tersebut dengan angka 1 atau -1, sehingga label-label yang mereka berikan pada tiga kartu di setiap sesi mematuhi dua aturan sederhana untuk memenangkan satu sesi permainan.
Aturan 1: Apabila dua di antara mereka mendapat kartu berjenis Y, dan hanya seorang yang mendapat kartu berjenis X, maka hasil perkalian label-label yang ketiga pemain itu imbuhkan ke kartu yang mereka terima haruslah sama dengan 1.
Ada tiga kemungkinan dua di antara mereka mendapat kartu Y dan seorang sisanya mendapat kartu X. Kemungkinan pertama, Asep dan Bambang mendapat kartu Y, sementara Cinta mendapat kartu X. Kemungkinan kedua, Asep dan Cinta menerima kartu Y dan Bambang mendapat kartu X. Kemungkinan ketiga, Bambang dan Cinta mendapat kartu Y dan Asep menerima kartu X. Untuk ketiga kemungkinan ini, Aturan 1 menyebutkan bahwa kalau label yang mereka tulis pada kartu-kartu yang mereka terima dikalikan semuanya, hasilnya harus sama dengan 1. Dalam notasi yang telah kita sepakati, AX, AY, BX, BY, CX, CY harus mematuhi himpunan persamaan sederhana sebagai berikut, masing-masing merepresentasikan tiga kemungkinan di atas:
Persamaan (1):
AY × BY × CX = 1
AY × BX × CY = 1
AX × BY × CY = 1
Persamaan (1) di baris pertama misalnya berarti, Asep dan Bambang mendapat kartu Y, sementara Cinta mendapat kartu X, sehingga label yang mereka imbuhkan (AY, BY, CX) itu kalau dikalikan hasilnya harus sama dengan 1. Persamaan di baris kedua dan ketiga punya arti yang serupa, merepresentasikan dua kemungkinan yang lain.
Aturan 2: Apabila ketiga pemain tersebut ketiga-tiganya mendapat kartu X, maka hasil perkalian label yang mereka tulis pada kartu yang mereka terima itu hasilnya harus sama dengan -1.
Dalam notasi yang telah kita sepakati, Aturan 2 akan menghasilkan persamaan berikut ini:
Persamaan 2:
AX × BX × CX = -1
Mereka dinyatakan memenangkan satu sesi permainan bila jawaban-jawaban mereka mematuhi Aturan 1 dan Aturan 2. Lalu, permainan ini kita ulang berkali-kali dengan memberikan tiga kartu masing-masing ke Asep, Bambang, dan Cinta, yang bervariasi dari satu sesi ke sesi berikutnya.
Tentu saja, permainan koordinasi jarak jauh di atas menjadi sangat trivial, alias mereka bisa memenangkan permainan dengan mudah, bila minimal salah satu pemain tahu kartu apa yang diterima oleh pemain lainnya. Misalkan saja Asep, dengan melihat informasi dari jenis kartu yang diterima oleh Bambang dan Cinta, bisa menyesuaikan jawabannya sehingga selalu mematuhi Aturan 1 [Persamaan (1)] dan Aturan 2 [persamaan (2)]. Dalam permainan, hal semacam ini tidak terjadi. Mereka dipisah sedemikian rupa, dan waktu setiap sesi tanya-jawab diatur sedemikan rupa sehingga apa yang terjadi di kamar setiap pemain tidak bisa memengaruhi apa yang terjadi di kamar pemain lain.
Sebelum permainan dimulai, Asep, Bambang dan Cinta diperbolehkan bertemu, untuk mendiskusikan strategi yang akan mereka jalankan untuk memenangkan permainan koordinasi jarak jauh itu. Adakah strategi yang bisa mereka lakukan untuk “selalu” memenangkan permainan? Sekali lagi ingat bahwa setelah mereka berada di tempatnya masing-masing, Asep, Bambang, dan Cinta tidak dapat saling memengaruhi satu sama lain. Mereka diperbolehkan membawa apapun ke kamar mereka masing-masing, misalnya alat yang canggih yang membantu menerka apa yang terjadi di kamar teman-teman mereka. Tentu saja alat canggih ini diasumsikan tidak bisa memengaruhi apa yang terjadi di kamar teman-teman mereka.
Salah satu strategi yang bisa mereka lakukan misalnya adalah dengan membuat kesepakatan pada label apa yang akan mereka tulis ketika mendapat jenis kartu tertentu. Ketika masih bersama-sama, mereka misalkan membuat kesepakatan bahwa Asep harus menulis label 1 saat mendapat kartu X (atau AX = 1) dan menulis label -1 kalau mendapat kartu Y (AY = -1). Bambang sepakat untuk menulis label -1 bila mendapat kartu X (BX = -1) dan menulis label 1 bila mendapat kartu Y (BY = 1). Sementara itu, Cinta sepakat untuk menulis label -1 bila mendapat kartu X (CX = -1) dan menulis label 1 bila mendapat kartu Y (CY = 1). Pembaca bisa mengecek langsung bahwa strategi ini otomatis mematuhi Aturan 1 [persamaan (1)].
Misalkan Asep, Bambang, dan Cinta masing-masing dalam satu sesi permainan mendapat kartu Y, Y, X, maka strategi yang telah disepakati di atas menghasilkan AY × BY × CX = (-1) × 1 × (-1) = 1, yang mematuhi baris pertama dari persamaan (1). Sayangnya, kalau ketiga pemain itu di sesi permainan yang lain menerima kartu berjenis X semuanya, menurut strategi di atas kita akan memperoleh AX × BX × CX = 1 × (-1) × (-1) = 1, yang melanggar Aturan 2 [persamaan (2)]. Jadi, strategi di atas berhasil mematuhi Aturan 1, tetapi melanggar Aturan 2 sehingga tidak bisa dipakai untuk “selalu” memenangkan setiap sesi permainan.
Adakah strategi untuk Asep, Bambang, dan Cinta agar bisa selalu memenangkan setiap sesi permainan di atas? Kita bisa dengan mudah membuktikan bahwa selama apa yang terjadi di kamar setiap pemain tidak bisa memengaruhi apa yang terjadi di kamar pemain lainnya, maka tidak ada strategi yang bisa mereka pakai yang bisa “selalu” memenangkan permainan tersebut. Dengan aljabar sederhana, kita bisa tunjukkan bahwa kalau mereka tidak bisa saling memengaruhi satu sama lain, persamaan (1) dan (2) di atas adalah dua aturan yang kontradiksi satu sama lain sehingga tidak bisa dipenuhi secara sekaligus.
Pertama, perhatikan sisi kiri dari tanda “=” di persamaan (1) dan (2). Pembaca bisa melihat bahwa setiap dari simbol-simbol AX, AY, BX, BY, CX, CY muncul dua kali (masing-masing di dua baris yang berbeda). Sebagai contoh, AX muncul sekali di baris ketiga persamaan (1) dan sekali di persamaan (2). Lalu, ingat bahwa setiap simbol hanya bisa bernilai 1 atau -1, dan 1 × 1 = (-1) × (-1) = 1. Karenanya, kalau kita kalikan semua simbol yang muncul di sebelah kiri dari tanda “=” di persamaan (1) dan (2), hasilnya adalah:
(AX × AX) × (AY × AY) × (BX × BX) × (BY × BY) × (CX × CX) × (CY × CY) = 1 × 1 × 1 × 1 × 1 × 1 = 1.
Kedua, bila kita kalikan semua bilangan yang muncul di sebelah kanan dari tanda “=” di persamaan (1) dan (2) kita mendapatkan 1 × 1 × 1 × (-1) = -1. Nah, pertama tadi kita sudah tunjukkan ruas kiri tanda “=” bernilai 1, sedangkan kedua tadi kita dapatkan ruas kanan tanda “=” bernilai -1, yang berarti bahwa Aturan 1 dan 2 bisa diringkas menjadi sebuah kontradiksi 1 = -1. Jadi, selama Asep, Bambang, dan Cinta tidak bisa saling mempengaruhi, tidak ada strategi yang bisa mereka sepakati untuk selalu memenangkan permainan karena dua aturan permainan itu sendiri tidak konsisten (tidak punya solusi).
Namun, ada hal yang mengejutkan. Kalau di setiap sesi permainan kita memperbolehkan Asep, Bambang, dan Cinta untuk memakai 3 elektron (atau benda mikro lainnya), maka mereka bisa “selalu” memenangkan pertandingan! Awalnya, mereka perlu menyiapkan tiga elektron dalam keadaan tertentu yang disebut sebagai “keadaan” Greenberger-Horne-Zeilinger atau GHZ entangled* state (lihat catatan kaki), lalu Asep, Bambang, dan Cinta membawa satu elektron ke kamar mereka masing-masing. Ketika disodori kartu jenis X atau Y, mereka melakukan “pengukuran tertentu pada spin elektron terhadap sumbu-x atau sumbu-y” dari elektron yang mereka punya**: ukur spin elektron terhadap sumbu-x bila mendapat kartu jenis X atau ukur spin elektron terhadap sumbu-y bila mendapat kartu jenis Y. Menurut fisika kuantum dan sudah diverifikasi oleh eksperimen, mereka akan mendapat hasil pengukuran berupa angka 1 atau -1 (dikalikan dengan sebuah konstanta). Angka-angka ini lalu mereka jadikan label untuk kartu-kartu yang disodorkan ke mereka. Anehnya, dengan cara ini, fisika kuantum menjamin bahwa label-label yang mereka berikan akan “selalu” mematuhi Aturan 1 dan Aturan 2 sekaligus! Artinya, dua aturan yang telah kita buktikan kontradiksi satu sama lain ternyata punya solusi!
Tentu saja kita patut curiga. Apa yang sebenarnya terjadi? Asumsi apa yang salah (tidak dipatuhi oleh ketiga elektron) ketika membuktikan bahwa Aturan 1 dan Aturan 2 tidak punya solusi? Kita sudah menjelaskan bahwa satu-satunya cara untuk selalu bisa memenangkan permainan di atas adalah dengan memperbolehkan apa yang terjadi di kamar Asep (misalnya) untuk bisa mempengaruhi keputusan pelabelan yang diambil oleh Bambang atau Cinta. Karena mereka dipisah satu sama lain sehingga tidak ada sesuatu yang menghubungkan mereka, maka peristiwa saling mempengaruhi ini terjadi secara nonlokal (aksi jarak jauh), semacam ada “telepati”.
Sesuatu semacam telepati itu misalnya ketika Asep melakukan pengukuran pada elektron yang dia punya sesuai dengan jenis kartu yang dia dapat, informasi ini akan merambat seketika itu juga (secara instan) pada elektron yang ada di Bambang dan Citra, dan memengaruhi hasil pengukuran mereka. Dengan kata lain, ketiga elektron ini seperti saling memengaruhi seketika meskipun mereka tidak berinteraksi satu sama lain, sesuatu yang sangat terlarang (spooky) menurut Einstein dan absurd menurut Newton. Elektron-elektron itu saling berkoordinasi jarak jauh untuk selalu memenangkan permainan. Sayangnya, aksi saling mempengaruhi jarak jauh ini tidak bisa kita pakai untuk mengirim informasi yang bisa kita kontrol. Dalam fisika kuantum, hal ini dikenal sebagai prinsip no-signaling. Oleh karena itu, pada judul tulisan kita sebutkan istilah “pseudo-telepati” (quantum pseudo-telepathy).
Cerita di atas tentu membuat banyak fisikawan, filsuf, dan matematikawan sulit tidur. Termasuk juga para teolog dan penggiat ilmu mistik. Sebagian berargumentasi bukan aksi jarak jauh antar elektron yang membuat ketiga pemain tersebut bisa selalu memenangkan permainan, tetapi asumsi kita tentang adanya realitas yang objektif-independen meskipun tidak kita ukur (lihat), atau realisme, yang harus kita pertanyakan kembali. Sebagian lain percaya bahwa kehendak bebas (free-will) adalah ilusi, dan macam-macam interpretasi lainnya***.
Dengan demikian, fondasi fisika kuantum tidak hanya menarik perhatian para fisikawan-matematikawan, tetapi juga para filsuf, teolog, sastrawan, penulis fiksi, hingga (tentu saja) sutradara film. Pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ada pada tataran metafisika, mendapat tempat pada fisika yang bisa diuji dalam eksperimen. Karenanya, sebagian orang menyebut eksperimen semacam itu sebagai eksperimen metafisik. Dalam kontek ini tidak salah bila Henry Stapp menganggap teorema Bell sebagai penemuan yang paling fundamental di sains.
Dalam, beberapa dekade terakhir, teorema Bell juga telah menarik perhatian para matematikawan dan ilmuwan komputer. Banyak fisikawan, ilmuwan komputer, dan matematikawan percaya bahwa teorema Bell adalah salah satu kunci untuk pengembangan teknologi informasi masa depan, untuk menciptakan komputer yang jauh lebih cepat (komputer kuantum), dan teknologi kriptografi (teknologi persandian) yang jauh lebih aman (kriptografi kuantum). Teknologi-teknologi lain yang lebih efisien dari teknologi yang berlandaskan fisika klasik pun diharapkan bisa terealisasi.
Bahan bacaan:
- http://majalah1000guru.net/2015/05/kucing-schrodinger-bagian1/
- John Bell, Physics 1, 195 (1964).
- D. Greenberger, M. Horne, and A. Zeilinger, “Going beyond Bell’s theorem”, in Bell’s theorem, quantum theory, and conceptions of the universe, M.Kafatos (Ed.), Kluwer Academic, Dordrecht, 73-76 (1989); D. Greenberger, M. Horne, A. Shimony and A. Zeilinger, Am. J. Phys. 58 (12), 1131 (1990); N. D. Mermin, Phys. Today 43 (6), 9 (1990).
- L. Vaidman, Found. Phys. 29, 615-630 (1999).
Catatan kaki:
*Bagi pembaca yang tidak punya pengetahuan tentang fisika kuantum, entangled state adalah istilah teknis di fisika kuantum yang menyatakan keadaan sebuah sistem (misal elektron) yang mematuhi aturan tertentu dari dua atau lebih sistem (partikel dan semacamnya). Pembaca tidak perlu tahu apa arti persisnya untuk menikmati artikel ini. Pembaca cukup percaya bahwa, keadaan ini bisa direalisasi dan diverifikasi dengan ekperimen, yang hasilnya sesuai dengan prediksi fisika kuantum.
**Pembaca harus tahu fisika kuantum untuk mengerti arti operational dari spin dan pengukuran spin. Sekali lagi, untuk menikmati artikel ini, pembaca cukup percaya bahwa konsep spin di fisika kuantum bisa di experimentasi dengan hasil yang sesuai prediksi fisika kuantum.
***Sayangnya, untuk bisa menjelaskan realisme dan free-will secara lebih persis dalam konteks fisika, pembaca harus mengerti matematika sedikit lebih banyak lagi.
Artikel ini penulis dedikasikan untuk Bue (Ibu) dan Pae (Bapak), yang selalu mengirimkan sinyal “telepati”, dan bayangannya membuat (ilusi) ruang dan waktu menjadi terasa nyata. Semoga Tuhan selalu menjagamu.
Penulis:
Agung Budiyono, peneliti fondasi fisika kuantum dan mekanika statistik, lahir di Juwana dan saat tulisan ini diselesaikan sedang bekerja di Yerusalem. Kontak: agungbymlati(at)gmail.com.