“Gempa bumi”, cukup beralasan untuk mengatakan bahwa segenap warga Indonesia familiar dengan istilah yang satu ini. Posisi Indonesia yang “terjebak” di antara benua Asia dan Australia turut andil dalam membentuk gugusan kepulauan yang rawan bencana geologis, semisal gempa dan gunung berapi. Sebagai hasilnya, banyak warga Indonesia pernah merasakan secara langsung getaran gempa, dan lebih banyak lagi yang tak asing dengan pemberitaan media akan terjadinya gempa.
Pada umumnya, pemberitaan akan gempa di media akan memuat berbagai informasi. Informasi yang paling umum adalah lokasi sumber gempa, beserta kedalamannya, disusul oleh kekuatan gempa. Kita biasanya akan menjumpai kekuatan gempa yang dinyatakan dalam angka, katakanlah 6,8 dengan disertai singkatan SR.
Apa itu SR? Mengapa kekuatan gempa dinyatakan seperti itu?
Sekarang, anggaplah kita memutar waktu untuk seketika kembali ke masa 100 tahun yang lalu. Bagi mereka yang berkelana di tahun 1915 dan menerima informasi akan terjadinya gempa, mereka tidak akan mengenali sama sekali notasi semacam 6,8 SR sebagaimana disebutkan sebelumnya. Ini berangkat dari kenyataan bahwa SR, yang merupakan singkatan dari skala Richter, baru dipublikasikan 20 tahun setelahnya.
Charles Francis Richter (1900-1985) pada tahun 1930an adalah seorang fisikawan yang bekerja di Seismological Laboratory, atau disingkat Seismo Lab. Seismo Lab dikelola melalui kerjasama California Institute of Technology (Caltech) dengan Carnegie Institute for Science, dan berposisi di dekat kota Los Angeles, California, Amerika Serikat.
Posisi Seismo Lab di California menjadi penting ketika melihat reputasi California salah satu daerah paling rawan gempa di wilayah Amerika Serikat. Sejarah panjang kegempaan California terentang hingga jutaan tahun silam, dengan salah satunya adalah gempa besar 1906 yang tercatat meluluhlantakkan sebagian besar kota San Francisco. Disokong oleh keaktifan geologis wilayah California yang terus menebar gempa, Seismo Lab dengan cepat tumbuh besar dalam naungan Caltech, menjadi institusi penelitian kegempaan top dunia.
Sebagai institusi penelitian kegempaan kelas dunia, Seismo Lab menjadi rujukan utama dalam ilmu kegempaan di masanya. Termasuk menjadi lumbung dokumen ilmiah terkait aktivitas kegempaan di wilayah California selatan. Berbekal dokumentasi terkait, Seismo Lab berencana memublikasikan laporan kegempaan ini secara rutin kepada khalayak ramai. Untuk memenuhi target tersebut, diperlukan adanya sistem pengukuran untuk menggambarkan kekuatan gempa terkait secara seragam.
Richter, bekerjasama dengan atasannya yang bernama Beno Gutenberg, mendapatkan inspirasi dari publikasi ilmiah Kiyoo Wadati (1902-1995) untuk menaksir kekuatan gempa dari besar pergerakan tanah yang ditimbulkannya. Berhubung gempa bumi pada dasarnya adalah kejadian berguncangnya permukaan Bumi, secara alamiah orang akan mengaitkan kekuatan gempa dengan besar guncangan yang terjadi.
Berangkat dari inspirasi ini, Richter kemudian menyusun acuan awal untuk skala Richter pada 1932, sebagai berikut:
Sebuah gempa pada jarak 100 km yang menggerakkan jarum seismograf Caltech sejauh 1 milimeter dari titik setimbang adalah gempa dengan magnitudo 3.
Istilah “magnitudo” yang digunakan Richter dalam skala rancangannya konon berasal dari skala kecerlangan bintang, yang juga memakai satuan magnitudo. Sementara angka 3 dipilih Richter untuk menghindari kemungkinan tercatatnya gempa bermagnitudo “negatif”.
Sekarang, barangkali sebagian dari kita bertanya-tanya. Jika skala Richter memang menaksir kekuatan gempa berdasarkan besar guncangan, bagaimana bisa ada “guncangan negatif”? Di sinilah inti dari penghitungan skala Richter.
Sekarang, barangkali sebagian dari kita bertanya-tanya. Jika skala Richter memang menaksir kekuatan gempa berdasarkan besar guncangan, bagaimana bisa ada “guncangan negatif”? Di sinilah inti dari penghitungan skala Richter.
Richter yang sedang merancang skala sempat kebingungan dalam menentukan rentang skalanya. Betapa tidak, gempa yang cukup besar akan menggerakkan jarum seismograf Caltech hingga beberapa sentimeter, sedangkan gempa yang lebih kecil hanya menggerakkan jarum seismograf yang sama dalam kisaran mikrometer (1 mikrometer setara dengan seperseribu milimeter).
Dalam hal ini, jika disesuaikan secara normal dengan acuan sebelumnya, gempa kecil akan tercatat dengan magnitudo kurang dari 1, sementara gempa besar bisa tercatat bermagnitudo 50, atau bahkan 100. Rentang yang demikian besar ini tentunya tidak nyaman digunakan dalam publikasi kelak. Beruntunglah Richter, ketika dilema ini kemudian diatasi oleh usulan Gutenberg dengan usulan supaya Richter merancang ulang skalanya dengan skala logaritmik.
Apa pula yang dimaksud skala logaritmik?
Secara sederhana, dalam skala logaritmik, tiap satuan skala dihubungkan oleh hubungan berupa rasio, atau perbandingan. Ini berbeda dengan skala linear yang setiap satuan skalanya dihubungkan oleh operasi selisih.
Menilik permasalahan skala Richter sebagai skala logaritmik, jika pergeseran jarum seismograf sebesar 1 milimeter mewakili magnitudo 3, ini berarti pergeseran sebesar 1 sentimeter mewakili magnitudo 4, dan seterusnya. Magnitudo 6, alih-alih mewakili pergeseran dua kali lipat dari magnitudo 3, mewakili pergeseran seribu kali lipat, yaitu satu meter. Ini berbeda dengan skala Kelvin untuk suhu, misalnya, suhu 400 Kelvin mewakili jumlah panas yang dua kali lebih besar dari suhu 200 Kelvin.
Dengan rancangan logaritmik ini, Richter dapat menyusun skalanya dalam satuan yang lebih “bersahabat” bagi khalayak ramai kelak. “Gempa besar” yang menggerakkan jarum seismograf dalam kisaran beberapa sentimeter, akan tercatat sebagai gempa bermagnitudo 4 hingga 5. Sementara gempa kecil yang menggerakkan jarum seismograf dalam kisaran beberapa milimeter, akan tercatat sebagai gempa bermagnitudo 0 hingga 1.
Ketika mempertimbangkan perbandingan kekuatan antara gempa kecil dan gempa besar di bagian sebelumnya, sekilas tampak jelas bagaimana skala logaritmik membantu menyederhanakan nilai perbandingan terkait. Akan tetapi, ketika diamati dari sudut pandang khalayak ramai yang terbiasa dengan skala linear (misalnya dalam besaran macam panjang, massa atau waktu), menyampaikan informasi dalam skala logaritmik cenderung akan memunculkan kesalahpahaman antara kalangan ilmuwan dan masyarakat.
Misalnya, karena skala Richter adalah skala logaritmik, gempa bermagnitudo 6,0 akan mengguncang muka Bumi 10 kali lebih kuat dari gempa bermagnitudo 5,0. Ketika diterjemahkan dalam bentuk total energi yang dilepaskan, gempa bermagnitudo 6,0 melepaskan energi 31,6 kali lebih besar dari energi yang dilepaskan gempa bermagnitudo 5,0. Perbandingan yang berat sebelah ini mungkin tak kentara ketika kita melihat angka magnitudo yang hanya berselang satu.
Contoh lain dapat diambil dari analisis gempa Jepang Timur tahun 2011. Pada awalnya, gempa terkait tercatat memiliki nilai magnitudo 8,8 menurut Badan Meteorologi Jepang (JMA). Setelah perhitungan lebih lanjut, nilai tersebut direvisi menjadi 9,0 yang resmi diakui hingga kini.
Bagi kita yang terbiasa dengan skala linear, revisi ini akan dipandang remeh, mengingat selisihnya hanya 0,2 yang tampak tidak besar. Akan tetapi, ketika kita mengembalikan kedua nilai ini pada jati dirinya sebagai angka dari skala logaritmik, kita akan mendapatkan informasi menarik: gempa bermagnitudo 9,0 melepaskan energi sekitar 2 kali energi gempa bermagnitudo 8,8. Untuk “merasakan” besarnya efek perubahan sekecil 0,2 ini, bayangkan kita tentu bergidik ngeri jika merasakan dua gempa bermagnitudo 8,8 alih-alih satu gempa bermagnitudo 9,0.
Ketidakakraban khalayak ramai terhadap skala logaritmik yang diterapkan pada skala kekuatan gempa ini boleh jadi akan memunculkan masalah di berbagai sisi. Meski demikian, agaknya kita harus terus-menerus membiasakan diri dengan skala logaritmik yang terasa tidak alami ini. Sebagaimana permasalahan yang dihadapi Richter sebelumnya, mengungkapkan kekuatan gempa dalam skala linear hanya akan memberikan angka-angka besar untuk menggambarkan magnitudo gempa. Misalnya skala 1.000.000 untuk magnitudo 7, atau 1.000.000.000 untuk magnitudo 9.
Melihat kenyataan tersebut, seharusnya kita sepakat bahwa mengungkapkan kekuatan gempa dalam skala logaritmik akan lebih mudah menuliskannya ketimbang dalam skala linear. Kalaupun kita hendak memprotes, agaknya keadaan tidak akan berubah, menilik skenario yang telah dijabarkan.
Sebagai penutup tulisan, beberapa pembaca mungkin memergoki hilangnya kosakata “skala Richter” di bagian belakang tulisan. Pada kenyataannya, “skala Richter” sebagaimana dikembangkan oleh Richter dan Gutenberg sudah digantikan skala yang lebih mutakhir. Skala ini, yang masih kerap disebut sebagai “skala Richter” di berita-berita kegempaan, sebenarnya adalah “skala kekuatan momen” (moment magnitude scale), yang dinyatakan dengan simbol MW.
Skala momen mengukur kekuatan gempa berdasarkan pergerakan sesungguhnya dari kulit bumi yang menghasilkan kegempaan, atau “momen gempa” (seismic moment). Walaupun skala ini berbeda secara mendasar dengan skala Richter, keduanya sama-sama menggunakan skala logaritmik. Sehingga, dalam penerapannya saat ini, kedua skala dapat diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan nilai magnitudo yang setara bagi gempa yang sama.
Demikianlah kiranya. Meskipun terkadang memerlukan pengetahuan matematis tertentu, mari kita mengakrabi lebih lanjut ragam fenomena di sekitar kita!
Bahan bacaan:
- http://gizmodo.com/tracking-tremors-a-brief-history-of-the-richter-scale-484911351
- http://www.theatlantic.com/technology/archive/2014/08/is-there-a-better-way-to-measure-earthquakes/379165/
- https://www.scientificamerican.com/article/how-was-the-richter-scale/
- http://earthquake.usgs.gov/learn/topics/measure.php
- http://en.wikipedia.org/wiki/Moment_magnitude_scale
- http://en.wikipedia.org/wiki/Richter_magnitude_scale
Penulis:
Gianluigi Grimaldi Maliyar, alumnus Tohoku University, Jepang.
Kontak: gian.gmaliyar(at)gmail(dot)com.