Bahan radioaktif? “Aduh, seram ah! Berbahaya dan bisa membunuh orang!” Mungkin ekspresi seperti itu yang muncul dari kebanyakan orang yang takut dengan bahan radioaktif. Tragedi Fukushima dan bom atom Hiroshima-Nagasaki kerap menjadi alasan ketakutan terhadap bahan radioaktif. Namun, tidak bisa dipungkiri pula bahwa bahwa bahan radioaktif memiliki banyak kegunaan dalam berbagai aspek kehidupan.
Selain untuk pembangkit listrik tenaga nuklir, radioaktivitas di antaranya bermanfaat untuk mensterilkan makanan, mengetahui usia fosil, hingga mengobati penyakit. Manfaat-manfaat radioaktivitas seperti itu sering disebutkan dalam berbagai buku pelajaran fisika atau kimia di sekolah. Nah, dalam artikel ini kita akan bahas dua kegunaan lain dari penggunaan sifat radioaktif yang telah membantu para peneliti memecahkan misteri alam semesta.
Penemuan sifat genetik dari DNA
Sebelum tahun 1950-an, para ilmuwan belum mengetahui bagian mana dari sebuah sel yang membawa sifat genetik (turunan). Saat itu DNA (Deoxyribonucleic Acid) telah ditemukan, tetapi banyak ilmuwan yang tidak percaya bahwa molekul yang relatif kecil ini bisa membawa sifat genetik yang demikian kompleks. Hipotesis tandingannya, seharusnya protein yang jauh lebih besar dan kompleks yang justru membawa sifat genetik.
Datanglah virus sebagai juri di pertandingan antara kedua hipotesis tersebut. Teman-teman mungkin pernah mendengar bahwa virus itu sangat sederhana, hanya terdiri dari protein dan DNA. Fakta ini pun sudah dipahami oleh para ilmuwan pada tahun 1950-an. Virus dapat menginfeksi bakteri dan mereplikasi diri di dalamnya menggunakan materi yang terdapat di dalam bakteri. Fakta inilah yang digunakan oleh Hershey dan Chase untuk membuktikan bahwa DNA-lah yang membawa sifat genetik, bukan protein.
Bagaimana cara membuktikannya? Hershey dan Chase membuat dua koloni virus menjadi radioaktif. Koloni pertama dibuat dengan mengganti atom sulfur yang tidak radioaktif di virus dengan 35S (sulfur dengan nomor atom 35) yang bersifat radioaktif. Koloni kedua dibuat dengan mengganti fosfor tidak radioaktif dengan 32P yang bersifat radioaktif. DNA tidak memiliki sulfur sama sekali sehingga bagian radioaktif dari virus yang mengandung 35S adalah proteinnya, begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya, masing-masing koloni ini dibiarkan untuk menginfeksi koloni bakteri yang tidak radioaktif. Bakteri yang terinfeksi kemudian dipisahkan dengan sisa materi dari virusnya. Ternyata, bakteri yang diinfeksi oleh virus yang mengandung 35P bersifat radioaktif. Sebaliknya, bakteri yang diinfeksi oleh virus yang mengandung 35S tidak bersifat radioaktif. Artinya, hanya DNA dari virus yang masuk ke bakteri dan mereplikasi dirinya.
Dari eksperimen Hershey dan Chase ini juga diperoleh diagram bagaimana cara virus menginfeksi bakteri dan memperbanyak diri.
Asal-usul kawah Barringer
“Gunung api!” “Meteor!” “Yang lain ah!” Lalu terjadilah jambak-jambakan. Mungkin seperti itu versi sinetron dari debat tentang asal-usul kawah Barringer yang gambarnya pasti pernah kalian lihat (meski belum tentu tahu namanya kawah Barringer, hehe). Lokasi kawah ini sangat dekat dengan kumpulan gunung api San Fransisco sehingga hipotesis bahwa kawah ini merupakan sisa gunung berapi yang sudah mati lumayan masuk akal.
Akan tetapi, beberapa ilmuwan menemukan serpihan-serpihan kecil meteorit di sekitar kawah tersebut. Hipotesis bahwa kawah tersebut dibentuk dari meteor yang jatuh pun jadi cukup masuk akal. Alhasil, para ilmuwan kemudian jambak-jambakan, eh, berdebat soal penyebab terjadinya kawah yang diameternya 1,1 km ini.
Untuk kasus ini, jurinya adalah bom atom. Bagaimana caranya? Masih pada tahun 1950-an, di masa perang dingin, sering dilakukan pengujian bom atom di atas tanah. Energi yang dilepaskan bom atom sangat besar walaupun tidak sebesar energi dari beberapa meteor. Energi bom Hiroshima cuma seperduapuluh energi meteor Chelyabinks yang diameternya 20 meter. Untung saja meteor yang jatuh ke bumi di tahun 2013 ini tidak sampai menghancurkan kota atau desa.
Pada tahun 1960, Eugene Shoemaker menyadari ada satu bentuk batuan yang unik yang kerap ditemukan di tempat pengujian bom atom. Batuan ini sekarang dikenal dengan nama shocked quartz. Pada dasarnya, shocked quartz adalah pasir biasa yang terkena tekanan yang sangat besar sehingga bentuknya berubah. Kalau kita menemukan shocked quartz di satu area, kita yakini bahwa area itu pernah mengalami tekanan yang sangat besar. Nah, salah satu penyebab tekanan yang besar itu adalah seperti bom atom dan tumbukan meteorit.
Shoemaker berasumsi, kalaulah kawah Barringer merupakan sisa gunung berapi, akan sulit menemukan shocked quartz di sana. Sebaliknya, kalau kawah Barringer terbentuk dari tumbukan dengan meteorit, pasti cukup mudah menemukan shocked quartz. Hasilnya, ia menemukan banyak sekali shocked quartz di sana. Karena kita tahu bahwa ketika kawah Barringer terbentuk, 50.000 tahun yang lalu, belum ada bom atom, bisa disimpulkan kawah ini terbentuk karena tumbukan meteor.
Selain kawah Barringer, ada pula kawah Chicxulub, yang berdiameter 180 km, dikonfirmasi sebagai kawah tumbukan meteor dengan cara yang sama. Di sekitar kawah Chicxulub pun ditemukan banyak shock quartz. Usia dari lapisan tempat ditemukannya shocked quartz ini sekitar 66 juta tahun yang lalu, yang dalam teori arkeologi bertepatan dengan waktu punahnya dinosaurus! Wow!
Seru sekali, bukan? Masih banyak kegunaan bahan radioaktif dalam memecahkan misteri alam semesta. Jadi, jangan takut dengan bahan radioaktif, mari kita sama-sama pelajari lebih lanjut.
Bahan bacaan:
- http://chemwiki.ucdavis.edu/Physical_Chemistry/Nuclear_Chemistry
- http://en.wikipedia.org/wiki/Hershey-Chase_experiment
- http://en.wikipedia.org/wiki/Shocked_quartz
- http://en.wikipedia.org/wiki/Meteor_Crater
- http://en.wikipedia.org/wiki/Cretaceous-Paleogene_boundary
Penulis:
Reinard Primulando, peneliti fisika partikel di Johns Hopkins University.
Kontak: reinard_p(at)yahoo(dot)com.