Leher rahim atau serviks merupakan organ reproduksi wanita yang terletak di bagian bawah dari rahim dan seolah-olah merupakan bagian leher. Penyakit yang mengerikan ini merupakan kanker yang paling sering menjangkiti wanita setelah kanker payudara. Meskipun telah ada deteksi dini untuk penyakit ini, yaitu dengan pap smear ataupun tes IVA, ternyata angka kejadian dan kematian karena kanker ini masih tetap tinggi. Di manakah sebenarnya letak serviks? Serviks merupakan bagian dari rahim yang berbatasan dengan vagina dan menghubungkan ke rongga rahim. Kita ingatkan kembali anatomi organ reproduksi wanita melalui gambar berikut ini.
Agen utama terjadinya kanker serviks adalah inveksi virus papiloma manusia atau sering disingkat sebagai HPV (human papilloma virus) tipe tertentu yang menginfeksi genitalia/kelamin melalui hubungan kelamin. Ada banyak sekali tipe HPV. Berdasarkan keterlibatan HPV dalam menyebabkan kanker serviks, virus tersebut dibagi ke dalam 3 kelompok、 yaitu yang low risk (risiko rendah), intermediate risk (risiko sedang), dan high risk (risiko tinggi). High risk HPV yang paling sering ditemui pada kanker serviks di Indonesia adalah HPV tipe 16 dan 18. Sebenarnya seperti sebagian besar infeksi virus pada umumnya kanker serviks merupakan self limiting disease atau bisa sembuh sempurna tergantung dari sistem kekebalan tubuh dan beberapa faktor lain.
Karena bisa sembuh sendiri, maka hanya sekitar 0,8% saja infeksi HPV yang berlanjut hingga menjadi kanker serviks. Bagaimana bisa? Apa yang berbeda dari 0,8% wanita pengidap HPV ini hingga bisa berlanjut menjadi kanker? Ternyata perlu beberapa “persyaratan” sehingga terbentuknya suatu kanker pada serviks. Persyaratan tersebut disebut sebagai faktor risiko. Infeksi HPV yang bagaimana yang bisa menyebabkan kanker serviks? Jawabannya adalah infeksi yang persistent atau terus menerus, terutama oleh HPV tipe risiko tinggi, yaitu pada wanita yang sering berganti-ganti pasangan seksual, risiko tertularnya akan meningkat.
Faktor risiko apa lagi yang memperbesar kesempatan berkembangnya kanker serviks? Hubungan seksual yang dimulai pada usia sangat muda yaitu pada usia belasan tahun. Mengapa begitu? Serviks secara anatomis dibagi menjadi dua yaitu endoserviks (bagian dalam/atas) yang dilapisi epitel kolumner/silindris dan ektoserviks (bagian bawah yang berbatasan dengan vagina) yang dilapisi epitel skuamosa/gepeng. Batas antara kedua bagian tersebut disebut taut skuamokolumner (squamocolumner junction).
Pada perkembangannya, serviks wanita muda mengalami ektropion dengan pertumbuhan epitel kolumner (silindris) semakin ke bawah sehingga taut skuamokolumner bergeser makin keluar/ke bawah. Ketika dewasa, ektropion menghilang dan epitel yang melapisi eksoserviks kembali epitel skuamosa/gepeng. Daerah yang mengalami perubahan epitel tersebut disebut sebagai transformation zone yang ternyata di tempat inilah seringkali kanker serviks bermula. Hal ini juga berhubungan dengan tropism atau “kesukaan” HPV untuk tumbuh di sel epitel skuamosa serviks. Apabila pada saat terjadinya perubahan transformasi epitel dari kolumner menjadi skuamosa terdapat keterlibatan HPV (pada wanita remaja yang sudah melakukan hubungan seksual), makin besarlah risiko wanita tersebut mengalami keganasan serviks kelak di masa depan.
Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya kanker serviks ini. Selain faktor yang telah dijelaskan di atas, masih ada faktor lain yang berkontribusi dalam perkembangan penyakit ini. Adanya zat-zat mutagen, yaitu zat yang menyebabkan terjadinya mutasi genetik dari sel-sel normal, menjadi rentan terhadap proses patologik terutama keganasan. Mutagen bisa juga berupa infeksi virus herpes simpleks, infeksi bakteri maupun protozoa. Berbagai agen penyebab terjadinya penekanan kekebalan tubuh (misalnya pada orang dengan infeksi HIV, pengguna obat-obatan penekan daya tahan tubuh/immunosuppressant), merokok, pemakaian kontrasepsi hormonal turunan estrogen, hingga riwayat keganasan yang sama dari orangtua atau adanya predisposisi genetik. Perhatikan gambar skematik berikut ini.
Waktu yang dibutuhkan sejak terjadinya infeksi HPV hingga timbul kanker serviks ternyata cukup lama yaitu sekitar 10-30 tahun. Selama durasi waktu tersebut sebelum menjadi kanker maka terjadi kelainan pada sel skuamosa serviks yang disebut dengan Low grade Squamous Intraepithelial Lesion disingkat LSIL atau kelainan/lesi sel epitel skuamosa derajat rendah, yang bisa berlanjut menjadi High grade Squamous Intraepithelial Lesion disingkat HSIL atau kelainan/lesi sel epitel skuamosa derajat tinggi.
Dengan adanya persistensi HPV menyebabkan virus berkembang biak dalam sel skuamosa (atau sel basal karena letaknya di bagian dasar dari epitel mukosa eksoserviks) dan akhirnya berintegrasi dengan DNA sel basal tersebut sehingga stabilitas genom pada sel tersebut berubah dari normalnya. Pada saat DNA virus berintegrasi dengan DNA sel basal inilah maka kelainan sudah masuk ke tahap HSIL. Sel akan berubah sifat menjadi sel yang mampu hidup lama (mampu menghindari apoptosis/kematian sel yang terprogram) dan membelah dengan sangat cepat untuk kepentingan kelangsungan hidup HPV (pemeran utamanya adalah protein E6/E7 dari virus) sehingga apabila tidak cepat terdeteksi dan diterapi maka akan berlanjut menjadi kanker. Namun protein E6 dan E7 ini tidak bekerja sendirian akan tetapi mempengaruhi protein-protein lain yang berperan dalam regulasi siklus sel sehingga pertumbuhan sel menjadi berlebih-lebihan dan tak terkendali.
Masih banyak pertanyaan mengenai kanker serviks, misalnya untuk masalah terapi, atau seperti seberapa efektifkah vaksin anti-HPV yang sekarang sedang populer? Adakah metode lain yang lebih efektif untuk deteksi dini kanker serviks? Sebenarnya kalau boleh kita merenungkan kembali bahwa apabila setiap manusia hidup dengan cara yang bersahaja sesuai aturan umum, misalnya: menikah setelah usia 20 tahun, tidak melakukan seks bebas, tidak berganti-ganti pasangan seksual, maka kanker serviks bukanlah menjadi ancaman yang mematikan bagi wanita.
Bahan bacaan:
- K. Khalili, K-T. Jean, Viral Oncology, New Jersey: John Wiley & Sons (2010).
- A. Giordano, A. Bovicelly, R. J. Kurman, Molecular pathology of gynecologic cancer. New Jersey: Humana Press (2007).
Penulis:
Dyah Ayu Woro Setyaningrum, dosen di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kontak: dyah.setyaningrum(at)yahoo(dot)com.