Mendengar istilah diskriminasi, biasanya hal-hal negatif yang langsung terpikir oleh banyak orang. Istilah diskriminasi biasanya mengacu pada perbedaan perlakuan berdasarkan warna kulit, ras, suku bangsa, agama, jenis kelamin, atau kondisi cacat fisik. Siapa sih yang suka mendapat perlakuan diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat?
Namun, tahukah Anda bahwa ada juga jenis diskriminasi yang disukai? Diskriminasi tersebut bahkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini yaitu penjual dan pembeli. Dalam ilmu ekonomi serta manajemen, ada suatu konsep yang disebut diskriminasi harga. Diskriminasi harga mengacu pada pengenaan harga berbeda untuk produk atau jasa yang sama kepada kelompok pelanggan atau pasar yang berbeda.
Terdengar tidak adil ya? Bayangkan jika kita pergi ke supermarket membeli satu kilogram apel dengan harga Rp 50.000. Di saat yang sama ada orang lain membeli apel jenis yang sama dengan berat yang sama dijual dengan harga Rp 25.000 saja, bagaimana reaksimu? Supermarket tidak seperti pasar tradisional. Di pasar tradisional pembeli bisa menawar harga, maka tentu saja terasa tidak adil jika apel yang sama dijual dengan harga berbeda kepada pembeli lain. Pembeli yang harus membayar lebih banyak untuk apel yang sama boleh jadi protes dengan perlakuan diskriminasi ini.
Sekarang bayangkan jika kita pergi menonton bioskop pada hari Senin. Biasanya pada hari Senin ada yang namanya nomat (nonton hemat). Pengunjung bioskop dapat menonton film dengan harga lebih murah daripada waktu lainnya. Anggaplah teman kita menonton film yang sama pada hari Sabtu dengan harga tiket bioskop dua kali lipat lebih mahal daripada yang kita bayar pada hari Senin. Teman kita membayar jauh lebih mahal, tapi ia tidak akan marah atau protes karena menganggap wajar saja harga tiket bioskop lebih mahal pada hari Sabtu.
Dua hal di atas adalah contoh dari diskriminasi harga. Tidak ada masalah memberikan harga yang berbeda untuk jenis produk atau jasa yang sama, selama konsumen dengan sukarela membayar harga yang berbeda tersebut. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, diskriminasi harga bahkan dapat meningkatkan kesejahteraan konsumen secara umum, sekaligus pada waktu yang sama juga dapat memaksimalkan jumlah pemasukan suatu badan usaha. Bagaimana bisa? Mari kita simak satu contoh lagi.
Saat liburan sekolah mungkin kita tertarik untuk jalan-jalan ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Namun, dengan anggaran yang terbatas tentunya kita tidak bisa dengan mudah membeli tiket pesawat. Akhir-akhir ini di Indonesia muncul beberapa maskapai penerbangan yang menawarkan tiket pesawat dengan harga sangat murah, tetapi kita harus memesan tiket jauh-jauh hari sebelumnya. Sistem pemesanan tiket pesawat memang banyak menggunakan prinsip diskriminasi harga.
Pada umumnya, diskriminasi harga lebih banyak digunakan saat menjual jasa daripada saat menjual barang. Hal ini disebabkan oleh sifat jasa yang tidak dapat disimpan, tidak seperti umumnya barang. Sebagai contoh, maskapai penerbangan tidak dapat memindahkan kursi yang tidak terjual ke pesawat lainnya. Manajer hotel tidak dapat “menyimpan” kamar yang kosong untuk penjualan di masa depan.
Pada kasus pemesanan tiket pesawat, maskapai penerbangan memperhitungkan perbedaan daya beli konsumen dengan membuat kebijakan menjual tiket dengan harga lebih murah jika dipesan jauh-jauh hari. Jika tiket yang dipesan jauh-jauh hari tersebut batal digunakan atau diubah jadwalnya, risikonya pembeli tidak mendapat pengembalian uang (refund) atau paling tidak harus membayar biaya khusus yang dikenakan oleh maskapai penerbangan (charge).
Diskriminasi harga dapat membuat penyedia jasa meningkatkan jumlah konsumen dan membuka pasar baru. Untuk mempermudah pemahamanan mengenai bagaimana diskriminasi harga dapat memaksimalkan kesejahteraan penjual dan pembeli secara umum, mari kita lihat tabel di bawah ini.
Pemesan awal adalah pembeli yang memesan tiket pesawat jauh-jauh hari, sedangkan pemesan akhir adalah pembeli yang memesan tiket mendekati waktu keberangkatan. Jika dilihat pada tabel di atas, pemesan awal hanya sanggup membayar maksimal Rp 500.000 untuk tiket pesawat jurusan tertentu, sedangkan pemesan akhir bersedia membayar sampai dengan Rp 1.000.000. Jika maskapai penerbangan menjual tiket dengan satu harga tanpa melakukan diskriminasi harga, maskapai tersebut tidak akan dapat memaksimalkan jumlah keuntungan.
Sebagai contoh, jika harga ditetapkan pada Rp 1.000.000, maka hanya pemesan akhir yang sanggup membayar harga tersebut, dengan demikian pemasukan maskapai penerbangan adalah 300 x Rp 1.000.000 = Rp 300.000.000. Jika maskapai penerbangan menetapkan harga Rp 500.000, maka baik pemesan awal maupun pemesan akhir sanggup membayar harga tersebut sehingga pemasukan menjadi (200 + 300) x Rp 500.000 = Rp 250.000.000.
Hasil berbeda akan dicapai jika maskapai penerbangan menetapkan dua harga, yaitu Rp 500.000 untuk pemesan awal dan Rp 1.000.000 untuk pemesan akhir. Dengan dua harga ini pemasukan menjadi (200 x Rp500.000) + (300 x Rp1.000.000) = Rp 400.000.000, lebih besar daripada saat harga ditetapkan secara merata Rp 1.000.000 atau Rp 500.000. Dengan demikian, diskriminasi harga dapat memaksimalkan pemasukan bagi penjual. Dalam waktu yang sama, diskriminasi harga juga dapat menjangkau lebih banyak pembeli potensial. Pembeli yang hanya sanggup membayar dengan harga lebih murah pun akhirnya dapat menikmati produk sesuai dengan daya beli mereka.
Bahan bacaan:
- Oz Shy, How to Price: A Guide to Pricing Techniques and Yield Management, Cambridge University Press (2008).
- http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi_harga
Penulis:
Feranisa Prawita Raras, alumnus Fakultas Ekonomi, Osaka University, Jepang.
Kontak: fpraras(at)gmail(dot)com.