Pembentukan Batu Bara

Pendahuluan

Batu bara, sebagai bahan bakar fosil, banyak dimanfaatkan dalam berbagai industri mulai dari pembangkit listrik, industri baja, hingga transportasi. Peran penting batu bara dalam beberapa industri strategis tersebut mendorong dilakukannya berbagai penelitian yang berhubungan dengan batu bara. Tulisan kali ini membahas secara singkat tentang proses pembentukan batu bara.

Hubungan volume terhadap berat campuran karbon dan mineral. (Penelitian Schopf, 1956)
Hubungan volume terhadap berat campuran karbon dan mineral (Schopf, 1956).

Batu bara dalam pengertian yang mendasar adalah batuan yang mudah terbakar dengan kandungan karbon lebih dari 50% berdasarkan beratnya dan 70% berdasarkan volumenya (Schopf, 1956). Batu bara terutama tersusun oleh sisa-sisa tumbuhan yang mengalami proses penggambutan dan pembatubaraan. Secara lebih lengkapnya dapat diartikan bahwa batu bara adalah batuan sedimen, kaya bahan organik, tersusun atas sisa-sisa tumbuhan yang telah terawetkan, dan mudah terbakar sebagai ciri utamanya (Thomas, 2002)

Pembentukan gambut

Gambut (peat) merupakan akumulasi tumbuhan yang telah membusuk. Pembentukan gambut merupakan tahap awal terbentuknya batu bara. Gambut terbentuk di lahan basah yang disebut mire. Pembentukan mire dan karakteristik gambut yang dihasilkan bergantung pada beberapa faktor, yaitu evolusi tumbuhan, iklim, serta paleogeografi dan struktur geologi daerah. Endapan gambut yang tebal dapat terbentuk apabila (1) muka air naik secara perlahan-lahan sehingga muka air tanah konstan mengikuti permukaan endapan gambut, (2) mire terlindung dari penggenangan (banjir) oleh air sungai maupun air laut, dan (3) tidak ada interupsi oleh endapan sungai.

Berdasarkan lingkungan pengendapannya, mire dapat dibedakan menjadi 2, yaitu paralic mire dan limnic mire. Mire disebut sebagai paralic apabila terhubung dengan laut atau daerah pesisir, misalnya laguna, estuarin, delta, dan teluk.  Apabila terhubung dengan air tawar, mire disebut limnic, misalnya danau dan rawa. Secara umum, mire dapat dibedakan menjadi (1) topogenous mire apabila pembentukan gambut terjadi pada suatu level air yang tinggi dan (2) ombrogenous mire (raised bog) apabila ketinggian air berada di bawah permukaan gambut dan gambut memperoleh air terutama dari air hujan. Gambar di bawah menunjukkan proses pembentukan raised bog.

Contoh evolusi mire yang menunjukkan pembentukan raised bog (McCabe, 1987).
Contoh evolusi mire yang menunjukkan pembentukan raised bog (McCabe, 1987).

Pembentukan batu bara (coalification)

Batu bara, seperti telah dijelaskan sebelumnya, merupakan batuan sedimen yang berasal dari tumbuhan yang telah mengalami perubahan kimia dan fisika akibat proses biodegradasi (aktivitas bakteri) yang terjadi pada tahap penggambutan serta efek suhu dan tekanan selama proses pembatubaraan.

Peningkatan tekanan dan suhu dapat terjadi karena peningkatan kedalaman pembebanan atau kontak batu bara dengan sumber panas, terutama berupa intrusi batuan beku. Faktor lain yang juga sangat berpengaruh pada proses pembatubaraan adalah waktu. Waktu ini berhubungan dengan seberapa lama pembatubaraan terjadi. Semakin lama gambut terkena suhu dan tekanan yang tinggi, batu bara yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang lebih baik.

 Proses pembatubaraan secara umum dapat digolongkan menjadi dua tahap, yaitu penggambutan (peatification) dan pembatubaraan (coalification). Proses pembentukan batu bara diawali dengan fase biokimia dan kemudian diikuti fase geokimia (peran organisme sudah tidak ada lagi). Fase biokimia terjadi pada gambut segera setelah deposisi dan pengendapan sedimen lain terjadi di atas gambut tersebut.

Perubahan komposisi kimia dan fisika dari tumbuhan akibat aktivitas bakteri aerobik paling intensif terjadi pada “peatigenic layer” (± 0,5 m di bawah permukaan). Pada lapisan gambut yang lebih dalam, bakteri anaerobik mulai intensif bekerja karena berkurangnya oksigen. Selanjutnya, pada kedalaman lebih dari 10 meter, aktivitas bakteri mulai berkurang dan digantikan oleh proses kimiawi. Fase biokimia ini dipengaruhi oleh tingkat pembebanan sedimen, pH, dan tinggi permukaan air. Fase geokimia atau metamorfisme ditandai dengan peningkatan kandungan karbon (C) dan penurunan kandungan hidrogen (H) dan oksigen (O). Rasio antara O/C dan H/C dapat digunakan untuk menentukan peringkat batu bara.

Proses pembatubaraan akan menghasilkan perubahan parameter batu bara, baik yang berupa sifat fisik maupun kimia. Tingkat pembatubaraan disebut sebagai peringkat batu bara (rank).  Peringkat batu bara dari yang terendah adalah gambut, lignit, sub-bituminus, bituminus, antrasit, dan meta-antrasit. Proses dan reaksi kimia yang terjadi selama pembatubaraan dapat dilihat pada skema berikut.

Skema proses pembatubaraan (Van Krevelen, 1992 dengan perubahan dalam Amijaya, 2007).
Skema proses pembatubaraan (Van Krevelen, 1992 dengan perubahan dalam Amijaya, 2007).

Penutup

Indonesia adalah salah satu negara penghasil batu bara terbesar di dunia. Berdasarkan data statistik energi dan ekonomi Indonesia (2010), total cadangan batu bara Indonesia adalah 21 miliar ton dengan produksi sekitar 250 juta ton/tahun. Besarnya cadangan dan produksi batu bara di Indonesia memberikan peluang besar untuk terbukanya lapangan pekerjaan di bidang pertambangan dan peningkatan perekonomian. Tentunya hal ini dapat diraih apabila prinsip penambangan yang berkelanjutan dilaksanakan dengan semestinya.

Bahan bacaan:

  • D. H. Amijaya, Pengantar Geologi Batu bara, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 22 (2007).
  • P. J. McCabe, Facies Studies of Coal and Coal-Bearing Strata, ditulis dalam:  Coal and Coal bearing Strata: Recent Advances (Editor: A. C. Scott). Geological Society Special Publication 32, hal. 51-66 (1987).
  • J. M. Schopf, A definition of coal, Economic Geology 51, No. 6, hal. 521–527 (1956).
  • M. Teichmüller, The Genesis of Coal from The Viewpoint of Coal Petrology, International Journal of Coal Geology 12, hal. 1-87 (1989).
  • L. Thomas, Coal Geology, hal. 393, John Willey & Sons, USA (2002).
  • Sumber daya dan cadangan batu bara berdasarkan provinsi (data Kementerian ESDM, 2010):
    Ed09-teknologi-4

Penulis:
Ferian Anggara, mahasiswa Kyushu University, Jepang, serta bekerja di Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada. Kontak: ferian(at)ugm(dot)ac(dot)id.

Back To Top